Setelah membaca pesan dari Cherry, aku menyodorkan ponselku ke depan muka Arraja supaya dia juga bisa membaca apa isi pesan yang tertera. Begitu paham, Arraja mengangguk-angguk, lalu menoleh ke sekitar.
"Gue yakin pasti diam-diam Cherry lagi mengintai kita."
Aku mengernyit, merasa tak mengerti. "Mengintai? Buat apaan? Udah ah, gue harus cepet-cepet ke ruang aula klub drama. Nggak apa-apa kok kalau lo mau pulang duluan, Ja."
"Enak aja, nggak, nggak. Gue harus nunggu lo selesai sekalian. Paling lama juga satu jam doang."
"Kalau lebih dari satu jam gimana?" Aku lekas mengambil langkah, menuju ruang klub drama. Pasti sudah banyak anak-anak yang berada di sana.
"Itu bukan jadi masalah." Arraja berjalan, menguntitku. Diam-diam, aku menahan senyum.
"Ya udah, tapi lo nungguin gue di luar ruangan ya. Nggak enak sama Cherry."
"Aye, aye, kapten!" Arraja hormat. Gayanya sontak membuat aku teringat dengan Orion. Tidak, cepat-cepat aku menggeleng kuat untuk membuang bayangan Orion yang terkadang selalu melintas begitu saja. Contohnya baru saja kualami.
Tanpa berkata apa pun lagi, aku segera masuk ruangan yang bersuhu dingin. Begitu kaki menginjak lantai ruangan, aku cukup tercekat melihat isi ruangan. Hanya ada 4 orang yang sedang duduk di kursi yang menghadap ke sebuah papan tulis. Mereka fokus dengan gawai masing-masing. Semuanya cewek dan 2 orang di antaranya adalah Dinar dan Mikha. Sementara 2 lainnya aku tak kenal namanya, tapi mereka merupakan anggota klub drama yang juga satu angkatan denganku.
Aku mengambil tempat duduk kosong di dekat mereka, membuat perhatian keempat cewek tersebut teralihkan. Begitu melihat aku berada di ruangan ini, dua cewek yang tak kukenal sontak tertegun tak percaya.
"Eh dia kan si Ayya, ngapain dia di sini? Emang dia ikut main drama?" kata si cewek berambut lurus panjang dan berbando putih.
"Nggak usah kaget dulu, Sas, gue yakin dia emang ikutan drama ini dan kebagian peran jadi penyihir. Lo lihat kan mukanya cocok banget jadi tukang sihir gitu," tukas temannya yang berambut sebahu, melirikku terang-terangan dengan ekspresi judes.
Si cewek berbando mengangguk-angguk. "Bener juga. Cherry masih merahasiakan pemeran penyihir. Mungkin emang dia yang dimaksud."
Sementara Mikha dan Dinar yang sejatinya sudah tahu aku akan berperan sebagai Beauty tampak bungkam. Tak berniat ikut julid. Mungkin sengaja biar aku terkena serangan mental.
Aku memutuskan untuk diam saja. Tak perlu meluruskan ocehan dua cewek itu. Berusaha sabar menanti kedatangan Cherry dan mungkin beberapa pemain lain. Sebelumnya aku tak menyangka jika pemain yang terlibat rupanya tak lebih dari 10 orang. Hal itu tentu saja membuatku sedikit bernapas lega lantaran bisa mengurangi tekanan batin jika terjadi sesuatu yang memalukan.
Hingga tak lama kemudian, pintu ruangan kembali terbuka, dan datanglah seorang anak cewek, lagi-lagi dari anggota klub drama yang kini sudah kelas 12. Namanya Neta, aku mengenalnya dan kini dia masuk di kelas 12 IPS 2.
"Ayya... lagi ngapain lo di sini?" Sudah aku duga, Neta menatapku dengan heran, seolah-olah tempat ini bukanlah habitat yang sesuai denganku.
"Ehm gue... gue salah satu pemain juga, Net."
"What? Masa sih?" Neta memindai sekujur tubuhku sembari duduk di kursi sebelahku. "Disuruh Cherry?"
Aku hanya mengangguk pelan, melirik ke arah Mikha dan Dinar, tetap saja mereka mengabaikanku. Duh, Cherry ke mana sih? Kenapa dia lama sekali? Aku butuh Cherry untuk mengklarifikasi semua ini.
Untuk mengusir rasa bosan, aku membuka game Zuma saja. Semoga dengan bermain sebentar, bisa sedikit menenangkan pikiran dan waktu semakin cepat berputar. Dan benar, sekitar sepuluh menit aku berkutat dengan Zuma, pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok Cherry yang sedari tadi aku tunggu-tunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Подростковая литература"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...