Menghabiskan waktu berdua dengan Arraja nampaknya akan menjadi rutinitas sehari-hariku. Rupanya, cowok tengil itu diam-diam bertekad untuk selalu melindungiku dari kemungkinan buruk yang akan terjadi jika aku berdekatan dengan cowok lain yang menurut Arraja asing. Seperti Radhif, atau bahkan Rafael sekaligus. Meski aku yakin kedua cowok kece itu adalah orang-orang baik, tapi aku tetap menghormati prinsip Arraja. Terlebih, Arraja bersikap seperti itu lantaran bisa menandakan bahwa dia benar-benar tulus memilihku.
Sehabis pulang sekolah ini, Arraja membawaku pergi keliling kota tanpa tujuan yang jelas. Hanya muter-muter menggunakan sepeda motor seakan-akan Arraja memiliki stok bensin yang melimpah.
Sekitar 30 menit lamanya Arraja membawaku berputar-putar seperti gangsing, akhirnya Arraja memarkirkan motor di suatu bengkel yang berukuran besar.
"Arraja... motor lo kenapa lagi?" tanyaku seraya turun dari boncengan, merasa bingung lantaran dari tadi motor Arraja terlihat baik-baik saja. "Oh... atau istilah katanya mau kontrol kesehatan gitu ya?" lanjutku saat tak kunjung mendapat sahutan dari Arraja yang baru mematikan mesin motor.
"Udah deh Ay jangan kepo dulu."
"Gimana gue nggak kepo..."
Kalimatku terhenti lantaran Arraja berjalan menjauhiku, melangkah ke arah para karyawan bengkel yang terlihat memakai seragam.
"Bang, gue titip motor ya sebentar ya!"
"Si Arraja, lama nggak main ke sini tiba-tiba cuma nitip motor doang." Seorang karyawan cowok berbadan gemuk ber-high five dengan Arraja.
"Hehe sori, Bang, habis motor gue kan baik-baik aja."
Omong kosong macam apa itu? Kemarin saja ada masalah di area busi. Aku mendumel di dalam hati.
"It's okay. Tapi emang lo mau ke mana, Ja?" tanya cowok itu lagi. Sepertinya sudah mengenal Arraja dengan baik.
"Jalan-jalan sekitaran sini doang. Mau lihat kereta api lewat! Haha sekaligus mau nglemesin kaki, Bang." Arraja tertawa.
"Bener juga lo. Punya kaki jangan dimanja terus, ya sudah sono gih, mumpung hari ini nggak hujan."
Benar juga. Hari ini langit terlihat tidak mendung, namun tidak juga tampak cerah. Hanya embusan angin yang bertiup lumayan kencang.
Setelah sepatah-dua patah lagi yang mereka ucapkan, akhirnya Arraja mengajakku keluar area bengkel dan berjalan kaki menyusuri trotoar pinggir jalan raya. Tak lama kemudian, Arraja membelokkan langkah ke jalan yang lebih kecil lagi dan masuk ke sebuah gang.
"Arraja si cowok tengil! Sebenernya kita mau ke mana sih? Apakah gue harus bertanya pada peta?" tanyaku setelah kami berjalan tanpa tujuan. Ih, rasanya dari tadi muter-muter tanpa juntrungan tidak jelas kayak hidupnya si Mas Penulis.
"Sebelum kita berkutat dengan buku, buku dan buku. Kita habiskan waktu dulu buat main, Ay. Nanti kalau udah musim UAS pasti susah dapatin momen gini." Arraja yang sudah berjalan di depanku menjawab santai. Rambutnya berkibar-kibar seiring angin yang berembus kencang.
"Triple O em ji... alasan yang nggak menarik. Padahal nanti kita masih punya waktu yang lebih banyak setelah UAS selesai. Ada liburan semester, ada libur tahun baru."
Arraja tidak berniat menyahut lagi. Cowok itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Tak kusadari, ternyata Arraja sudah membawaku ke tempat lapang, jauh dari sudut-sudut keramaian kota. Rel kereta api melintang tak jauh dari tempat kami sedari tadi menyusuri jalanan kecil.
Angin segar membawa mataku terbang mengelilingi keadaan sekitar. Rumput-rumput hijau terlihat membentang sejauh mata memandang. Bergoyang-goyang syahdu terkena terpaan angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Novela Juvenil"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...