Triple O em ji. Sebenarnya yang membuat kami semua terpana begitu melihat tampilan si anak baru itu adalah suatu hal yang biasa, tetapi yang jadi masalah; ini kan di sekolah. Lihatlah! Warna rambut cowok baru di hadapan kami itu terlihat beda, bukan hitam, melainkan disemir warna ginger. Ginger, perpaduan atau pertengahan antara warna cokelat dan juga merah.
Menyadari kami semua sedang menatapnya heran sekaligus terpukau, Radhif akhirnya berdeham pelan sebelum buka suara. "Tolong nggak usah berlebihan. Saya tahu rambut saya beda dari kalian. Tapi yang perlu kalian garis bawahi, rambut saya ini asli, natural, original. Bukan hasil cat di salon."
Aku melongo, cara bicara Radhif terkesan angkuh, tetapi entah mengapa sengaja ia buat sedatar mungkin sehingga orang tidak akan melihat makna tersirat yang ditampakkan itu.
"Tapi kenapa nggak dicat hitam aja? Kan bisa tuh?" Darwin angkat tangan, berkomentar.
"Terima kasih atas sarannya, tapi saya nggak mau merusak rambut saya sendiri dengan cara mengecat dengan warna ini-itu," tukas Radhif dengan ekspresi kalem.
"Halaah palingan juga biar dinilai keren." Darwin mendengus seraya menekuk-nekuk wajahnya.
Hei, dasar Kampas Rem. Bilang aja dia sebenarnya kalah saing.
Seolah sedang menginterogasi, Heksa ikutan angkat tangan, mengajukan pertanyaan. "Oh iya, terus alasan lo pindah ke sekolah ini apa ya? Maksud gue, nanggung banget udah kelas dua belas gitu loh. Mana sebentar lagi udah ulangan semester."
"Apa pun alasan saya masuk sekolah ini, sepertinya nggak perlu dan nggak penting saya paparkan ke kalian semua." Radhif lagi-lagi menjawab dengan santai. Sepertinya dia tipikal cowok yang tenang dan percaya diri.
"Woy, tapi gara-gara lo masuk kelas ini, salah satu temen kami harus pindah ke kelas lain." Bayu ikutan bersuara. "Kenapa nggak lo aja sih yang ke-"
"Bayu!" Pak Raiz melotot ke arahnya, membuat cowok itu bungkam dan mengerucutkan bibir. "Dan juga kalian semua!! Kalian ini apa-apaan, ada teman baru bukannya disambut dengan baik, ini malah dipojokin, seolah-olah kalian berusaha menginterogasi."
Diam-diam aku mengangguk, cukup merasa senang ketika Pak Raiz punya pikiran yang sama denganku.
"Kalau begitu, biar saya jawab aja, Pak." Radhif mengangguk. "Mohon maaf kalau kehadiran saya di sini membuat kalian nggak nyaman dan kehilangan teman baik kalian. Tapi semua itu juga bukan kemauan saya pribadi kan. Kalau kalian ingin melayangkan protes, sebaiknya ke pihak sekolah dan saya siap kok kalau harus tukeran sama teman kalian itu."
Tidak ada yang menjawab lagi, aku mengedarkan pandangan ke arah cowok-cowok. Terlihat mereka masih keberatan dengan konsep Arraja yang harus pindah kelas dan anak baru yang mengisi kelas ini.
Pak Raiz menghela napas setelah terjadi hening sejenak. "Saya berharap, kalian benar-benar menerima Radhif seperti teman kalian sendiri. Oke Radhif, kalau ada yang berani membully kamu, jangan segan-segan melapor ke pihak guru."
Radhif hanya mengangguk singkat saat Pak Raiz menepuk bahunya.
"Baiklah, silakan kamu duduk di bangku kosong sebelah cowok bernama Heksa itu."
Radhif berjalan pelan menuju bekas bangku milik Arraja. Namun sesaat sebelum tubuhnya mendudukkan diri, aku bisa melihat tatapan tak suka yang menancap di mata Heksa.
Sebegitu tidak relanya Heksa kehilangan Arraja? Seakan-akan Heksa separuh nyawanya ada di diri Arraja. Lalu mereka bersahabat dekat seperti sepasang kekasih yang... Triple O em ji, aku lekas menggeleng kuat-kuat untuk mengusir kemungkinan buruk yang baru saja melintas di benakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Novela Juvenil"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...