"Erin... Rafael ngomong sama lo soal apa?" Aku melepaskan pelukan, menatap Erin dalam-dalam.
"Soal dia yang punya penyakit HIV. Lo udah tahu hal itu, kan?" Erin mengusap ujung mata.
Aku lekas merangkul Erin dan membawa masuk ke dalam rumah, sembari menyalakan lampu ruang tamu, aku bertanya, "Rin, gue nggak bermaksud menyembunyikan fakta itu dari elo. Sumpah, gue juga baru tau belum lama ini."
"Gue nggak marah soal itu, Ay." Erin mendesah pelan. Aku mengambil duduk di sebelahnya.
"Terus... gimana soal perasaan lo?" tanyaku lagi dengan hati-hati.
"Entahlah. Awalnya Rafael ngajak ketemuan tadi, gue setuju aja karena gue ngira kita bakal ngedate. Setelah kita ketemu, gue ngelihat muka Rafael yang muram dan tampak beda. Tanpa rasa curiga, tiba-tiba Rafael bilang katanya kepengen jujur dari sekarang. Begitu Rafael ngeceritain semuanya, gue terdiam, gue ngeblank, gue bingung, tapi jujur gue juga sempat ngerasa ketakutan. Setelah itu gue langsung pergi ke sini tanpa sempat ngomong apa pun lagi ke Rafael."
Iya, aku sangat mengerti perasaan sobatku yang satu ini. Kecewa dan tidak menyangka. Pasti dirasa cukup membebani hati seorang Erin. Padahal Erin baru saja menjalani kisah asmara lagi setelah sekian lama.
"Gue bener-bener nggak tau lagi menghadapi ini. Tadinya gue berharap ini cuma mimpi. Ayya... bahkan lo tau gue baru aja merasakan kembali kebahagiaan saat kembali punya pacar, tapi ternyata cuma sebentar doang. Kenapa Rafael harus seperti ini?"
"Rin, gue rasa Rafael ngomong jujur semua ini karena dia emang beneran sayang sama lo. Rafael nggak mau kalau ternyata suatu saat lo denger soal itu dari mulut orang lain," tukasku dengan yakin, karena aku sudah mengetahui isi hati Rafael yang sempat dicurahkannya kepadaku pada malam itu.
Erin mengangguk. "Soal itu... gue setuju sih, Ay. Di satu sisi emang gue apresiasi dia karena udah berani jujur. Tapi yang sangat disayangkan itu..." Erin memejamkan mata. "... kenapa Rafael bisa terkena HIV? Gue nggak bisa bayangin..."
"Itulah kenyataannya, Rin." Aku mengusap-usap bahu Erin. "Tapi lo percaya sama gue, Rafael nggak ada niat jahat apa pun sama elo. Apalagi sampai menularkan virus itu."
Erin terdiam, sesenggukan. Berusaha meredakan tangis. "Gue harus gimana ya?"
"Lo harus tetap menerima Rafael apa adanya, Rin. Kalaupun lo nggak bisa menerima dia sebagai seorang kekasih, seenggaknya terima dia sebagai sesama manusia. Rafael butuh sandaran, Rafael butuh seorang teman untuk menguatkan. Dan gue rasa, Tuhan membawa takdir lo untuk melakukan tugas itu buat Rafael."
"Ay..." Erin menatapku. "Makasih. Makasih banget. Gue beneran nggak nyangka lo ngomong kayak gitu. Nggak salah tempat gue curhat sama elo." Erin lekas memelukku erat. Terus terang, aku sendiri juga tidak menyangka sok berkata bijak seperti itu. Namun aku sadar, saat ini posisiku sedang menjadi tempat seorang sahabat yang sedang membutuhkan.
"Ya gimana dong, Rin. Habis, lo curhatnya sama gue, jadi ya mau nggak mau gue harus nyari kata-kata yang tepat supaya lo bisa lega atau apalah namanya."
Erin tersenyum dalam tangis, lalu sesaat kemudian segera mengubah raut wajahnya. "Tapi, Ay, jujur ya, apa lo tau seorang pelaku yang membuat Rafael terkena virus itu? Gue yakin banget lo juga udah tau hal itu."
Aku meneguk ludah, berpikir cepat apakah harus bilang yang sebenarnya atau tidak. Oke, tidak ada salahnya aku berujar jujur. "Dia... dia teman sekelas kita Rin. Orangnya itu... Radhif."
"Apa?" Erin tertegun.
Aku mengangguk pelan. "Rafael udah kenal Radhif terlebih dahulu sebelum gue dan lo kenal sama mereka berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Novela Juvenil"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...