"Hai girls... selamat malam semua!"
Suara Erin terdengar ceria. Malam ini Erin mendadak ngajak video grup bersamaku, Decha dan Vinny.
Suasana hatiku yang sedang kurang baik hanya merespon ucapan Erin dengan senyum tipis. Beda halnya dengan Vinny dan Decha yang menjawab secara normal.
"Ngomong-ngomong ada apa, Rin? Kok mendadak ngajak ketemuan online nih?" tanya Decha setelah beberapa saat.
"Bener banget. Mana muka lo kelihatan cerah banget, Rin?" timpal Vinny.
"Iya Rin ada apa?" Aku ikut komentar seadanya. Biasanya aku yang paling kepo, tetapi gara-gara isi surat Rifka itu membuat aku kepikiran, sehingga rasa kepo yang menjadi bagian dari sifatku mendadak lenyap.
"Aduh... gimana ya mulai ceritanya. Aw!" Erin tampak berbinar-binar.
"Tunggu dulu deh. Kok gue ngerasa lo udah jadian sama crush rahasia lo itu ya?" Vinny menebak-nebak.
"Triple O em ji... Vinny, kok lo bisa menebak dengan tepat?" Erin terlihat takjub.
"OMOO, serius lo udah jadian sama dia, Rin?" Decha bertanya, tersenyum simpul.
Erin mengangguk antusias, wajahnya merona, terlihat dari layar monitor. "Yup. Gue sama doi udah memutuskan buat mengikat hubungan. Pelan-pelan, semoga bertahan."
"Wah... congrats, my baby Erin, akhirnya lo berhasil move on juga sama Gilvan." Vinny yang sedang nyambi makan buah potong bertepuk tangan senang.
"Habis ini jangan sebut nama mantan gue lagi ya. Gara-gara dia, gue hampir tiga tahun ngejomblo." Erin tersenyum lebar.
"Eh Ayya, kok lo dari tadi diam aja sih?" Decha bertanya kepadaku.
"Iya bener nih, aduh... Ayya, padahal tadi gue berharap lo ngerespon heboh deh. Kayak biasanya gitu. Kenapa, Ay? Lo nggak seneng ya gue udah punya pacar?"
"Triple O em ji... Erin apaan sih? Masa iya gue nggak seneng ngelihat lo udah bersinar lagi setelah sekian purnama? Gue seneng kok, Rin. Congrats ya." Aku berusaha tersenyum lebar.
"Padahal gue juga berharap Ayya heboh sampai jungkir balik, tapi tahunya Ayya kok kayak lagi nggak semangat gitu. Lo kenapa, Ay?" Vinny mengajukan pertanyaan untukku.
"Betul juga. Lo kenapa Ay? Lagi sakit? Nggak enak badan?" Decha ikut bertanya.
"Ayya... kalau lo lagi nggak enak badan atau apa, lo tutup aja vc-nya. Nggak apa-apa kok." Erin menyahut, sarat perhatian.
"Aduh, aduh, makasih banget bestiee, kalian emang sohib terbaik gue yang nggak ada gantinya. Thanks ya udah perhatian. Tapi serius deh, gue sehat-sehat aja kok." Aku menyandarkan punggung di ujung ranjang.
"Beneran nih lo nggak apa-apa? Kalau ada masalah cerita. Jangan dipendam sendiri, bakal jadi beban hati," kata Erin lagi.
Sebenarnya memang aku kepengin cerita perihal isi surat Rifka kepada ketiga sobatku itu, tetapi rasanya belum siap untuk membicarakan masalah tersebut lebih lanjut. Untuk saat ini.
Aku menggeleng kuat. "Hmm, santai aja. Yah, aslinya gue cuma lagi kecapekan dikit sih. Seharian ini bener-bener lagi jadi ART sendiri."
Aku tidak bohong. Selepas menangis sesenggukan gara-gara membaca surat Rifka, aku lekas mengontrol hati yang cukup sakit dengan cara menyibukkan diri. Bersih-bersih rumah. Dari satu sudut ke sudut lain. Bahkan Mama saja sampai tersenyum senang lantaran aku yang kelewat rajin membersihkan benda apa pun yang terlihat masih bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Fiksi Remaja"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...