"Tadi pagi... gue dibonceng sama Pak Arnold KW."
Aku sedikit takjub ketika hampir semua anak yang berada di bangku tersebut mendengungkan ucapan yang sama, ditambah dengan ekspresi wajah bingung.
"Kenapa pada bisik-bisik?" tanyaku dengan nada tak suka.
Arraja tertawa, tidak cukup keras tapi cukup bikin kesal. "Hahaha. Ayya... seluruh dunia juga tahu lo pernah naksir sama mantan guru kita itu. Tapi... tolonglah lo jangan halusinogen gitu."
"Triple O em ji... gue nggak halusinasi. Enak aja! Buktinya anak-anak pada tahu kan kalau gue dibonceng cogan? Nah... cogan yang dimaksud itu saudaranya Pak Arnold."
" Sialan!" Arraja memukul meja, membuat Abid sedikit terperanjat kaget. "Sejak kapan lo kenal cowok asing dan nggak cerita-cerita sama gue? Apa lo mau kisah yang lama terulang lagi?"
Kisah yang lama terulang lagi? Apa maksudnya?
"Arraja... emang lo nggak ingat? Helloo... dia kan waktu itu ada di acara resepsi pernikahannya Pak Arnold dan Mbak Jenny," pungkasku dengan jernih, supaya Arraja bisa mencerna baik-baik.
Cowok tengil itu berdecak. "Gue nggak peduliin hal itu, Ay. Tapi... lo jangan gampang nempel sama cowok yang belum bener-bener lo kenal dong."
"Arraja, plis!"
"Plis apa? Ayya... gue nggak mau terjadi sesuatu sama lo ya!" Arraja bersikeras.
"Sesuatu apa? Lo pikir Rafael orang yang jahat?"
"Ooh... jadi lo udah tahu nama cowok itu? Peningkatan banget ya." Arraja mengangguk-angguk.
"Maksud lo apa sih?! Lo nuduh gue ada apa-apa sama Rafael?"
Triple O em ji, rasanya hal semacam ini—perdebatan mengenai orang ketiga—pernah aku rasakan dulu, sehingga terasa tidak asing dalam hidupku. Makanya saat ini aku merasa seperti deja vu. Ingat? Ketika itu saat Arraja dengan tengilnya mewanti-wantiku supaya berhati-hati dengan Orion. Lalu Orion yang kala itu menjadi pacar pertamaku—meski Orion hanya memanfaatkanku belaka, tapi aku tetap menganggap dia pacar pertama—dengan tidak senangnya menyuruhku agar tidak bersahabat dengan cowok bernama Miko.
"Gue nggak ada kalimat berkonotasi tuduhan. Gue cuma nyuruh lo jangan gampang percaya sama cowok lain, terutama yang penampilannya sebelas dua belas kayak mantan lo itu!"
Ya Tuhan, mendadak aku jadi kepingin menangis. Namun, aku tidak boleh cengeng hanya gara-gara Arraja menyinggung mantan pacarku yang ternyata jahat, karena dengan begitu, otomatis aku merasakan kembali betapa naif dan bodohnya aku saat itu.
Yang bisa aku lakukan saat ini hanya diam, tidak bisa mengeluarkan kata-kata balasan berikutnya.
"Udah, udah, kalau dilanjutin... bisa panjang ceritanya. Takutnya nanti yang baca kisah ini jadi boring dan darting." Heksa mencoba menengahi suasana.
"Oh iya Heks, gimana tuh soal teman baru kalian?" tanya Arraja dengan seringaian khas. Menatap Heksa.
Kurang ajar! Arraja malah langsung menikung topik pembicaraan tanpa meminta maaf kepadaku terlebih dahulu. Awas saja nanti!
"Nothing special. Dia cowok. Anaknya boring, sombong dan sok-sokan banget." Darwin yang menjawab dengan tampang sengit.
"Yep. Betul banget. Baru masuk aja lagaknya udah kayak artis," timpal Bayu yang duduk di salah satu kerumunan ini.
Dasar cowok tidak jelas. Padahal Radhif tidak sesombong yang mereka pikir.
"Bentar, bentar... emang maksudnya gimana? Kok kalian bisa bilang gitu?" Arraja jelas heran, bertanya ke arah teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Ficção Adolescente"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...