PART 32

57 4 0
                                    

KENING Haga segera mengerut begitu Josie memasuki mobilnya dengan wajah loyo dengan bibir sedikit maju. Bukan hanya itu, penampilannya juga sedikit berbeda. Tidak 'serapi' biasanya. Rambutnya dibiarkan terurai dan tampak seperti tidak disisir. Dasinya laki-laki yang biasa ia gunakan terlihat asal terpasang. Tetapi tetap, choker tak ketinggalan di lehernya. "Ada apa?" Tak bisa bagi Haga untuk tidak bertanya pada gadis yang baru ia temui pagi hari ini.

Josie menoleh, "Miro kemana? Dia nggak bales chat gue, di-read juga nggak. Telepon gue juga nggak diangkat."

Wajah Haga seketika berubah setelah tau alasan Josie tampil seperti ini.

"Ah, iya. Nggak seharusnya gue tanya sama lo. Hubungan kalian nggak sedeket itu. Lupa." Josie kembali menunduk, menatap layar ponsel dan mengutak-atiknya.

Haga diam beberapa saat memperhatikan tingkah cewek itu. Sebelum akhirnya melontarkan sebuah pertanyaan, "Kalo gue yang nggak ngabarin lo, apa lo bakal kayak gini juga?"

Jari Josie seketika berhenti bergerak. Matanya sedikit melebar. Namun ia tidak menoleh untuk melihat wajah cowok itu. Ia tetap pada posisinya.

Tanpa berbicara apa-apa lagi, Haga pun segera menyalakan mesin mobil. Lalu menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Josie untuk menuju ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, Haga segera keluar dari mobil. Mendului Josie. Masih dengan mulut yang terkatup rapat.

Josie yang tertinggal di belakang, hanya bisa diam memperhatikan punggung cowok itu hingga menjauh dan tak terlihat dengan perasaan yang bingung.

"Kalo ngelamun jangan di tengah jalan."

Lewat telinganya, Josie mendengar suara itu. Lewat indra perasanya, Josie merasa ada tangan yang hinggap di puncak kepalanya. Josie pun segera menoleh. Di sampingnya kini, berdiri seorang cowok yang telah ia nanti. "Miro?!" Kedua pupil gadis itu segera melebar.

Miro hanya mengedikkan kedua alisnya.

Lalu tanpa ampun, Josie segera menabok bahu Miro dengan keras hingga Miro mengerang kesakitan. "Cih, lemah banget! Gitu doang sakit!" ejek Josie.

Namun Miro tidak terpengaruh. Cowok itu masih meringis layaknya orang kesakitan dengan punggung sedikit membungkuk.

Mau tidak mau Josie jadi curiga sekaligus khawatir, "Lo beneran kesakitan?"

Miro menatap cewek itu, kemudian menggeleng.

Tetapi Josie tidak percaya. Meski Miro menggeleng, wajahnya tak berbohong. "Apa tabokan gue tadi berlebihan?" Josie menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah.

"Nggak papa." Cowok itu kembali berdiri dengan tegak. Namun tangannya masih menyentuh bahu yang tadi Josie tabok.

"Tapi tampang lo kayak orang kesakitan gitu."

"Gue bilang nggak papa. Tadi gue cuma acting."

Josie yang makin tidak percaya, dengan nekat melepas dua kancing teratas kemeja Miro. Hal itu membuat Miro melotot.

"Oi! Lo—"

"Diem!" potong Josie tidak peduli. Setelah melepas kancing kemeja Miro, dengan kasar, Josie menarik lubang leher kaos hitam di balik kemeja hingga karetnya mulur sampai bahu. Dari situlah, Josie bisa melihat ada luka memar berwarna merah keunguan menghiasi tubuh Miro.

Miro yang menyadari dirinya dan Josie kini tengah banyak diperhatikan orang, segera mendorong pelan kedua bahu Josie agar menjauh. Lalu ia segera kembali merapikan seragamnya seperti semula.

"Itu tadi apa? Lo habis berantem? Apa habis dipukuli?" tanya Josie serius.

"Bukan apa-apa." Miro memalingkan muka.

Mahameru is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang