#5. Accident

73 17 10
                                    

"Lepasin tangan lo."

"Veen—"

"Gue bilang lepas!" Nada bentakan teramat tinggi berhasil mendorong Sallyana mundur dengan langkah gontai. Tubuh anak gadis itu terlihat bergetar untuk sesaat, bayangan buruk tentang hubungan Papa dan Mama di masa lalu terlintas tanpa aba-aba.

Sallyana sempat terguncang, bahkan setelah hampir satu tahun Papa dan Mama berpisah. Dia belum bisa melepaskan kenangan indah bersama keluarga kecilnya. Andai saja Papa bisa dihubungi, andai saja ....

"Siapapun yang buat putri cantik Papa nangis, nanti Papa pukul sampai jadi tempe tumbuk!"

Sallyana berbalik, tanpa pamit dahulu, dia langsung menuruni anak tangga. Pergi dari rumah berlantai dua sesegera mungkin, ketika dia marah dan menangis, dia akan takut pada dirinya sendiri. Karena ketika emosi sedih dan marah tercampur dalam satu waktu, dia sering menangis dan meraung tidak jelas. Membanting semua yang dia lihat.

Dia tidak ingin Veen melihat sisi buruknya.

"Sallyana, tahan." Bisikan Sally layangkan pada dirinya sendiri.

Namun cekalan tangan dengan tenaga lebih kuat menahan siku kirinya dan memutar badannya begitu mudah. Manik mata karamel yang memerah bertubrukan dengan manik mata hitam obsidian.

"Dengerin kata gue ini baik-baik, mau seberapa mesra hubungan lo dan Vino, jangan harap hal itu bisa bikin gue cemburu. Paham? Sela itu sempurna dan mandiri, beda sama lo. Dan gue cinta sama dia."

Sallyana tertunduk, "Tahu, kok. Veen gak perlu bilang itu ke Sally. Dari tatapan mata Veen ke Kak Sela, aku pun udah tahu seberapa besar cinta Veen ke dia."

"Bagus, sekarang lo pergi."

"I—iya ...."

Detik berikutnya Sally langsung berbalik dan lanjut menuruni anak tangga. Mata karamelnya semakin panas dan perih, dia berusaha semaksimal mungkin menahan air mata supaya Veen tidak semakin membencinya karena bersikap sangat lemah seakan meminta belas kasihan.

"Satu hal lagi, gue pikir lo bukan perempuan seperti itu. Tapi nyatanya salah, di usia lo yang masih kecil, lo udah pinter rayu cowok dengan status paling tinggi di sekolahan. Mau rubah cita-cita jadi perempuan murahan?"

Kaki jenjang Sally berhenti tepat di ambang pintu. Ekspresi tak percaya terpampang jelas pada paras cantiknya. Satu bulir air mengalir. Satu isakan kecil lolos. Dia menoleh ke belakang, melihat Veen yang juga sedang menatap dia balik.

Saat ini tidak ada yang tersisa selain tatapan dingin pemuda di lantai atas.

Kesepuluh jemarinya mencubit kain rok sekuat tenaga. "Veen becanda, kan? Sally tahu Veen lagi marah, jadi ngomongnya suka jelek. Tapi nggak papa, Sally sama sekali nggak marah. Udah ya, Sally pulang dulu. Sampai jumpa besok di sekolah." Ekor rambutnya bergoyang lembut tatkala langkah kaki berubah menjadi lari kecil.

Sallyana menepuk dadanya berulang kali, berharap rasa sesak yang hinggap dalam dada bisa mereda walau tak seberapa. Ia menarik nafas panjang berkali-kali, masih terus berusaha melegakan rasa sesak di dada. Betapa sakit—betapa sakit rasanya dibenci oleh seorang laki-laki yang telah menjagamu dan mencintaimu semenjak kecil.

Dia lantas berlari masuk ke dalam rumah dengan sangat cepat, beruntung Juwi tengah fokus memasak di dapur sampai tidak tahu bahwa putrinya baru saja pulang.

Di lantai atas, Sally menutup pintu perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara sama sekali. Setelah itu tubuhnya merosot ke atas lantai, kedua lututnya tertekuk dan wajah kecilnya tenggelam diantara lipatan tangan.

"Veen cuma marah .... Veen cuma marah .... dia nggak maksud ngatain Sally murahan, Sally tahu Veen paling sayang Sally."

Anak remaja itu terus mengulang-ulang kalimat tersebut, berharap bahwa apa yang dia utarakan berkali-kali memang kenyataan sebenarnya. Meskipun dia saja tidak tahu alasan apa yang bisa membuat Veen begitu marah padanya, setidaknya pemuda itu tidak menolak kehadirannya.

SALLVEEN [WBM 2] - [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang