Sally melirik ponsel pribadinya di atas tepian ranjang. Dia baru saja selesai mandi setelah menidurkan Joo Hee. Kakinya berjalan mendekat ke ranjang, meraih benda pipih hitam tersebut. Mengerutkan kening melihat banyak panggilan masuk tidak terjawab dari Alisya.
Panggilan yang belum lama masuk telah mati. Sally mengangkat kedua bahu acuh tak acuh hendak menaruh kembali ponsel, namun suara deringan tanda ada telefon masuk berbunyi tidak terlalu nyaring. Alisya lagi-lagi menelfon.
Sallyana menggeser ikon hijau, "Halo, Bunda?"
"Halo, Nak. Kamu ada dimana? Kami semua cemas, pakaian kamu dilemari nggak ada, Aksa juga kamu bawa pergi tanpa mengambil stok botol susu. Gimana kondisi kamu dan Aksa sekarang? Seharusnya kalau ada apa-apa, kamu langsung bilang ke Bunda atau Ayah, jangan begini. Kami semua cemas!"
"Maaf, Bun. Sallyana bawa Aksa pergi karena kami mulai sekarang akan hidup bersama Papa. Sebentar lagi Papa akan mengirim surat resmi untuk merebut hak asuh Sallyana dan juga Aksa," —sekaligus surat undangan sidang atas kejahatan yang telah dilakukan oleh Yuwi.
"Hak asuh? Kenapa kamu tiba-tiba pengen ikut Papa kamu? Juwi sayang dan rawat kamu selama bertahun-tahun, tapi kamu mau ninggalin dia?"
Suara Alisya terdengar kesal dari sambungan telefon. Sallyana memaklumi. Alisya dan Yuwi sudah bersahabat baik semenjak dia berusia dua tahunan. Bunda pasti berpikir dia kekanakan, apalagi setelah menyebabkan masalah karena memukul Sela.
"Ada masalah yang nggak bisa aku jelasin, Bun. Lebih baik Bunda jangan ikut campur, Sally sayang Bunda dan Ayah, jadi tolong untuk kali ini saja biarkan Sally memilih jalan hidup sesuai kata hati."
"Nak, kalau kamu takut dihukum dan dimarahi Juwi setelah berbuat kasar ke Sela, atau kamu takut Bunda dan yah marah ke kamu, maka kamu salah. Kami semua sama sekali enggak marah ke kamu. Jadi tolong pulang dan bawa Aksa, Mama kamu nangis karena khawatir tentang kondisi anak-anaknya."
Kondisi anak-anak, ya?
Bukannya hanya khawatir ke kondisi Aksa?
Dia bukan putri Yuwi, tetapi putri kandung Juwi.
"Maaf, Bunda. Aku menolak."
"Sayang, dengarkan Bunda sekali ini aja. Kita bicara berdua ditempat yang kamu mau dan ceritakan semua masalah kamu, jangan seperti ini, Bunda mohon. Sallyana putri Bunda adalah anak baik, mau ya, Nak?"
"Sally minta izin dulu ke Papa, nanti Sally kabarin lagi," tanpa menunggu balasan dari lawan bicara, Sallyana memutuskan sambungan telefon. Dia memakai pakaian lalu keluar dari kamar. Berjalan ke ruangan dimana tempat diskusi sedang berlangsung.
Semua bukti sudah ada di genggaman tangan Papanya untuk saat ini. Semalam sebelum dia pergi meninggalkan rumah Arsania, ternyata Vino sudah membawa semua duplikat barang bukti dan mereka berdua menukar bukti asli dengan bukti palsu secara sempurna.
Pintu ruangan tengah Sallyana ketuk lambat, "Papa, aku boleh masuk?"
"Masuk aja, sayang." Seruan datang dari dalam ruangan.
Sally mendorong pintu hingga terbuka. Dia bisa melihat Bram terus berbincang bersama Fifi dengan ekspresi wajah sangat serius. Sepertinya Fifi bisa menjadi saksi pendukung dalam kasus ini.
"Pa," kepala Sally menoleh ke arah sofa ketika memanggil. Di sana Kim Taehyun sedang duduk sambil menggendong Aksa yang tidak tertidur namun tetap tenang tanpa rewel sedikit pun.
"Ada perlu apa sama Papa? Bosen, hm?" Kim Taehyun menggeser dokumen yang awalnya dia tanda tangani. Kaca mata bening melapisi mata hitamnya yang tetap tajam. "Duduk sini."

KAMU SEDANG MEMBACA
SALLVEEN [WBM 2] - [ END ]
FanfictieWajib baca buku musim pertama. Judul : Wanna Be Me, bisa dibaca di akun wp @azzurayna