#13. Kalian Egois!

49 14 1
                                    

"Papa, Mama hamil."

Tiga kalimat ringan tersebut berhasil mengejutkan Kim Taehyun yang terduduk di dekat putrinya saat ini. Mereka berdua pergi ke ruangan pribadi Kepsek untuk berbicara.

"Juwi .... hamil?"

"Iya, Mama hamil. Kita baru tahu kalau Mama hamil waktu pergi ke rumah Nenek sementara waktu di Solo. Papa pulang sebentar, ya? Mama pasti senang karena Papa mau berkunjung."

Pria paruh baya itu lantas menoleh ke arah lain, tak ingin melihat wajah memelas putrinya yang selalu membuat hatinya berakhir lemah dan tunduk pada segala keinginan anak tersebut. "Papa harus segera pulang setelah ini semua selesai, lain kali Papa pasti main ke rumah. Kamu mau ikut Papa ke Korea Selatan? Lagi pula kamu juga udah libur kenaikan kelas."

Tertunduk lesu, Sallyana mengangkat wajah untuk sekilas demi melihat bagaimana mimik wajah sang Papa. Mungkinkah Papa tidak mau lagi melihat Mama karena sudah ada pengganti?

Suara anak remaja itu berubah sedih dan sendu, dengan hati getir bertanya, "Papa nolak ke rumah pasti karena Papa udah ada istri baru, ya? Seingat Sally perempuan baru Papa hamil waktu ke rumah, harusnya sekarang sudah melahirkan?"

"Belum, Al belum melahirkan. Perkiraan Dokter adalah lima hari lagi, kamu juga akan menjadi kak—"

"Dia bukan adik Sallyana," potongnya tegas. Sampai kapan pun adiknya hanya ada satu dan saat ini tengah di kandung oleh sang Mama. Tidak ada adik lain selain calon adik laki-laki. "Dia bukan adik Sally, dia tidak lahir dengan rahim yang sama denganku."

Tatapan tegas Sally memaksa Kim Taehyun sadar akan kesalahan yang juga telah dia perbuat di masa lalu karena konflik internal bersama Juwi. Namun sungguh, bila dia diberi pertanyaan apakah dia ingin menikah lagi, maka dia dengan jujur akan menjawab tidak.

Perempuan yang dia cintai hanya satu, dari awal hingga akhir tetap sana. Tidak akan pernah tergantikan, akan tetapi rasa luka dan pengkhianatan telah mendorong egonya sebagai seorang pria untuk lebih unggul dari pada cinta yang sedang di rasa.

"Memang benar dia tidak lahir dari rahim Juwi, tapi dia tetap anak Papa secara biologis yang berarti dia juga adik kamu. Jenis kelaminnya perempuan, kamu pengen banget punyak adek perempuan, kan?"

"Gak mau. Sally cuma punya satu adek dan itu laki-laki yang saat ini sedang dikandung Mama. Kalau Papa memang tidak perduli dengan anak di rahim Mama—maka urus saja calon anak perempuan Papa." Tepat diakhir kalimat, Sallyana berdiri dari kursinya. Bersiap pergi keluar.

Kim Taehyun menekan pangkal hidung mancungnya. Masalah yang terjadi selama setengah tahunan ini sudah lebih dari cukup untuk menguras banyak energinya. Ia pun berdiri, berkata lembut sebelum putrinya melenggang pergi melintasi ambang pintu. "Apa kamu percaya jika Papa bilang Mama kamu adalah penyebab keluarga kita hancur?"

Sallyana terdiam di depan pintu yang terbuka. Tanpa menoleh dia menjawab lugas, "Papa ninggalin Mama karena sikap Mama terlalu kasar ke Papa? Tapi apa Papa pernah berpikir bahwa setiap orang punya cara masing-masing untuk menyampaikan cinta mereka?"

"Ini bukan tentang siapa yang lebih mencintai siapa. Tapi Papa mau bilang sesuatu ke kamu, jika kelak kamu diabaikan, datang saja pada Bram, dia teman baik Papa. Karena sampai kapan pun, kamu putri Papa dan sampai kapan pun juga—Papa selalu mencintai kamu melebihi apapun. Maaf karena membiarkan kamu tumbuh tanpa adanya sosok seorang Ayah, dan maaf atas tindakan kasar Papa di masa lalu."

Dengan tubuh bergetar menahan isak tangis, Sallyana pergi meninggalkan ruang pribadi Kepala Sekolah. Berlari kencang menuju toilet yang letaknya tidak terlalu jauh. Ia masuk ke dalam, menutup pintu, lalu merubuhkan tubuh ke atas lantai. Abai jika gaun indahnya bisa saja kotor.

"Kalian berdua egois ..." Lirih Sallyana pelan. Bulir-bulir air mata telah berubah menjadi anak sungai yang mengalirkan cairan bening kesedihan. Ruang sunyi toilet seolah menjadi teman tak kasat mata yang memeluk sosok kecil di dekat pintu.

"Harusnya kalian tanya ke Sally, bolehkah kalian berpisah, bolehkah kalian saling mengasingkan. Masihkah Sally butuh kalian berdua di sisi Sally selamanya."

Selama dia tinggal bersama Juwi, dia memang tidak pernah kekurangan kasih sayang, sang Mama terus menjaganya bersama Kakek dan Nenek. Namun semua itu masih kurang, tidakkah mereka paham seberapa sedih dan iri dirinya ketika melihat anak seusianya begitu bahagia bersama Papa mereka?

Bayangan masa kecilnya yang indah sempat terlintas. Momen dimana dia pertama kali bisa menulis namanya sendiri, Mama dan Papa sangat bahagia. Memeluknya dan menciumnya, berkata bahwa mereka bangga bisa mendapatkan putri sepertinya.

Kebahagiaan indah seperti itu kini telah sirna. Dirinya tak sekuat yang orang luar lihat. Dia masih tetap seorang anak gadis lima belas tahun yang belum memasuki usia puncak remaja. Mentalnya masih sensitif, dia masih butuh kasih sayang lengkap kedua orang tua, dia masih butuh banyak cinta untuk perkembangan tubuhnya.

Dia memang tidak pernah bisa dewasa, namun mampu untuk berpura-pura dewasa dan bahagia.

Sallyana terus menangis dan menangis. Usai keluar dari sekolahan sebagai lulusan terbaik, dia akan mencari beasiswa untuk mahasiswi berprestasi, menyelesaikan pendidikan, bekerja keras, lalu memberikan kebahagiaan bagi Mama dan adiknya.

Dia bahkan tidak ada waktu untuk memikirkan kapan dia bahagia, kapan dia bisa beristirahat.

Pada dasarnya dia tidak butuh semua itu, dia hanya butuh seorang pendamping yang akan bertanya padanya setiap hari, Apakah harimu baik-baik saja? Kesulitan apa yang kau lalui hari ini? Bila lelah istirahatlah, aku ada di sini.

Pendamping terbaiknya selain orang tua ialah Veen, tetapi pemuda itu nyaris enggan bertatap muka dengannya. Seolah dia adalah hama yang harus dijauhi sejauh mungkin. Sensasi hangat ketika telapak tangan kecilnya digenggam oleh telapak tangan pemuda itu di masa lalu masih terasa nyata.

Kemana pun dia pergi, Veen selalu berdiri di depan sembari memegang telapak tangannya hati-hati. Membimbing setiap langkahnya agar tidak tersesat dan terjerumus ke dunia gelap yang diselimuti oleh kesedihan. Pemuda itu sering memastikan setiap jalan yang dia lalui hanya berhenti di satu ujung, yaitu ujung kebahagiaan.

Sallyana berdiri, langkah kakinya limbung. Wajahnya memerah, terlihat amat menyedihkan. Sisi ini—sisi buruk yang paling ingin dia sembunyikan dari semua orang yang dia cintai. Namun dikala sendiri, sisi ini adalah sisi terbaik yang selalu dia ekspresikan.

Bunyi pintu terbuka membuat Sallyana terkejut. Dia lupa mengunci pintu! Buru-buru dia menarik dua lembar tisu dari kotak yang telah disediakan. Menghapus jejak aliran air mata dengan gesit. Baru selesai membersihkan sisi wajah kiri, seseorang sudah masuk ke kamar mandi.

Iris karamel Sallyana sedikit bergetar ketika melihat bayangan sosok pemuda terpantul pada permukaan kaca kamar mandi. Pemuda di sana menutup pintu dan menguncinya.

"Kamu—" Suara serak khas orang sehabis menangis membuat Sallyana memilih diam tanpa melanjutkan kalimat.

"Jika ingin menangis, cari toilet perempuan, jangan toilet laki-laki."

"Uh? Bukannya ini toilet perempuan?"

"Bagian dalam toilet sudah direnovasi dan dijadikan toilet laki-laki tiga bulan lalu."

Wajah Sallyana pucat pasi. Bodoh! Umpat perempuan itu pada dirinya sendiri. Beruntung bukan pemuda lain yang masuk ke ruangan, melainkan Veen. Dia bisa malu dan takut andai yang masuk tadi adalah pemuda lain.

"Maaf—kalau gitu Sallyana keluar dulu."

"Tunggu," lengan kiri Veen menarik lengan kurus Sallyana yang terekspos. "Tunggu di sini sebentar."





***
Big love and hug for baby sally♥️♥️♥️

Instagram ; zura_tzu

SALLVEEN [WBM 2] - [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang