#17. Jeno

49 13 3
                                    

Sallyana keluar dari taksi online pesanan Mama. Selama berjalan kepalanya terus menunduk, dia sesekali menabrak bahu siswa siswi lain tanpa sengaja. Kejadian memalukan dini hari ternyata mahir dalam mengacaukan pikirannya.

Kedua pipi putih Sallyana pun belum mereda dari hiasan warna semu kemerahan indah. Dia malu! Malu! Malu! Malu! Pokoknya sangat malu! Tadi pagi adalah ciuman pertamanya yang dia jaga untuk suaminya nanti, tetapi malah berakhir dilahap oleh bibir Veen!

Saat menaiki anak tangga menuju ke lantai tiga—lantai khusus berisi kelas dua belas, Sally bertemu dengan Vino yang sedang menuruni anak tangga. Pemuda itu mengenakan hoodie hitam besar, rambut hitamnya semakin gondrong dari terakhir kali, aura berandal kentara sekali dari sosok Vino.

"Kakak!"

Vino melirik Sallyana sekilas, dalam sepersekian detik pemuda itu lantas membuang muka ke arah lain. Lanjut menuruni anak tangga sendirian. Ia marah dan kesal karena Sallyana jarang menghubunginya selama libur kenaikan kelas, Sally pun sangat sulit diajak bermain keluar bersama.

Sallyana juga sadar dia telah salah, mengabaikan pesan serta telefon dari Vino akibat terlalu fokus berusaha membangun rencana supaya Alisya dan Ardi mau menerima Sela sebagai kekasih baru Veen. Tanpa pikir panjang Sallyana berbalik, menuruni anak tangga lalu berlari mengikuti Vino dari belakang.

"Kamu ngapain ngikutin aku?" Tanya Vino menggebu. Pemuda itu walau kesal, nada bicaranya tidak berubah kasar sedikit pun.

Sallyana memasang ekspresi sedih, "Kakak marah, ya?"

"Masih tanya?" Dengusan keras terdengar diakhir kalimat.

"Malam ini aku nginep ke rumah kakak boleh, ya? Tapi kakak jangan marah lagi."

Secepat kilat ekspresi muram Vino tergantikan oleh ekspresi binar bahagia kepalang senang. "Serius? Mau nginep?"

"Iya," sahut Sallyana sembari menahan kekehan.

Seketika Vino ingat bahwa dia berencana akan marah selama satu hari penuh kepada Sallyana. Namun berakhir gagal hanya karena satu bujuk rayu anak gadis tersebut. "Ekhem, oke. Pulang sekolah aku jemput ke rumah kamu."

"Siap, bos! Jangan lupa bawa Snow, ya!"

"Gak! Gak boleh bawa Snow!"

"Please!" Binar sorot memelas dari mata besar bak mata kucing berhasil meluluhkan hati Vino.

"Deal, kakak bawa Snow juga ke rumah. Papa dan Mama nanti pulang, mau makan malam bersama. Kamu nggak papa kalau ada mereka? Tenang aja, mereka setelah makan malam langsung pergi ke luar kota."

"Gak papa dong, Sally juga udah kangen sama Mama Cecil."

Mereka berdua berakhir saling lengket seperti biasanya. Setiap menit Vino selalu merangkai berbagai skenario berbeda di dalam kepalanya. Skenario jahat yang ditunjukkan khusus kepada sang adik sepupu.

Haruskah dia membuat Snow patah tulang dadakan supaya tidak ikut?

Atau haruskah dia membuat Snow diare agar diam di rumah saja dan dia bisa berduaan dengan puas bersama Sallyana?

Rencana jahat satu-persatu terputar jelas di kepala Vino, begitu lancar dan mulus, seakan anak muda tersebut sudah terbiasa merangkai rencana jahat kepada orang-orang yang tidak disukainya. Yah—memang benar.

Dilain tempat, Snow bersin berulang kali saat sibuk mendengar penjelasan Guru di depan kelas. Anak gadis bermata biru dengan kulit seputih salju tersebut mengerutkan kening, ini pasti Vino sedang berusaha berbuat jahat padanya. Firasatnya tak pernah salah.

"Snow, kamu baik-baik aja? Semisal kamu sakit bisa langsung izin ke UKS, Ibu persilahkan."

"Tidak, Bu. Saya baik-baik saja."

SALLVEEN [WBM 2] - [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang