#14. Sally Rindu Veen

70 13 7
                                    

Semenjak dua menit lalu jantung Sallyana berdegup kencang. Kedua jemarinya terkepal pada sisi tubuh. Ia takut telah melakukan suatu hal salah yang mana mengundang kekesalan serta amarah Veen. Mereka baru saja sepakat akan berbaikan apabila Sally berhasil membuat Ayah dan Bunda mencintai Sela. Jangan sampai kesepakatan tersebut hancur.

"Veen."

"Diem dulu sebentar."

Pemuda itu melepaskan jas hitam yang dikenakan, meletakan di dekat botol kaca berisi bebatuan dan satu ekor ikan kecil berwarna merah. Veen mengambil tisu untuk mengelap kedua lengannya, baru kemudian mengambil tisu baru.

Veen berbalik menghadap Sallyana, jari telunjuknya menyentuh dagu lawan bicara—mendorong dagu itu ke atas. Membuat wajah cantik kemerahan menatap paras tampannya. Iris hitamnya menatap dalam pada iris karamel jernih, "Lain kali jangan nangis disekolah, mending nangis di rumah. Muka lo jelek habis nangis."

Seakan tuli, Sallyana diam saja bagaikan patung. Kepalanya terasa kosong sedetik setelah jemari hangat pemuda di depannya menyentuh dan membelai sisi wajahnya yang masih basah dengan bekas air mata.

Kapan terakhir kali mereka berdua sedekat ini? Dan kapan terakhir kali Veen mengajak dia berbicara lebih dulu tanpa adanya adu mulut?

Kedua lengan Sallyana refleks menyentuh pergelangan tangan Veen yang masih tertutupi kemeja putih. Ketika pemuda di hadapan sibuk membersihkan bekas air mata, Sally justru menangis kembali. Bahkan kini lebih parah dari tangisan sebelumnya, Sally tak lagi enggan mengeluarkan suara tangisnya.

"Veen ... aku capek." Kalimat pendek ini mewakili segala keluh kesah serta perasaan kompleks yang menggelegak di dasar hati seorang Sallyana.

"Jeda sejenak," sahut Veen sembari menarik mundur lengan kirinya, tetapi kedua lengan Sally menahan pergelangan tangannya dengan begitu kuat. Ekspresi datarnya sedikit melunak, helaan nafas panjang keluar melintasi celah bibirnya yang terbuka.

"Hiks .... hiks, Sally capek banget. Mau istirahat," sambung anak gadis tersebut dengan tubuh bergetar semakin kuat. Kedua matanya terpejam, ingin menahan aliran deras air mata atau Veen bisa marah. Tetapi seakan tak mau diajak bekerja sama, kedua pelupuk matanya terus-menerus memproduksi buliran bening kesedihan.

Lengan kanan Veen terangkat, bergerak ke belakang leher Sallyana, menekan kepala kecilnya hingga terjebak dalam dada bidangnya yang lebar dan hangat. "Nangis sepuas lo." Tuturnya acuh tak acuh.

Kedua lengan Sallyana beralih melingkari pinggang kokoh penjaga hidupnya di masa kecil. Ia menghirup rakus aroma khas yang menjadi candu baginya. "Maaf .... maaf karena Sally bikin Veen nggak nyaman. Kamu—kamu pasti kesel karena lihat Sally nangis ...."

Bulu mata lentik milik Veen sedikit bergetar dalam hitungan detik, kelopak matanya menurun lambat, bibirnya mengeluarkan bisikan rendah, "Bodoh, nangis tinggal nangis. Gak usah minta maaf."

Jemari kecil nan rapuh meremas kemeja putih kusut karena ulahnya. Sallyana sesenggukan hebat, namun dia tetap menyembunyikan wajah, enggan untuk mendongak atau Veen akan melepaskan pelukan hangat ini.

Dulu, Sallyana suka mendengar kisah dongeng buatan Mama tentang Raja dan Ratu.

Mama bilang, Raja tidak akan pernah bisa bertahan tanpa adanya sosok Ratu di sisinya, sedangkan Ratu tidak akan bisa berdiri kokoh tanpa ada bantuan dan penjagaan Raja. Keduanya ada untuk saling melengkapi, keduanya ada untuk saling mengayomi, dan keduanya ada untuk saling mencintai.

Veen pernah bilang, Raja selalu membutuhkan Ratu dan Mentari sebagai pendamping sekaligus penerang jalan kehidupan, oleh sebab itu Sallyana selalu berdiri bersama Veen. Ketika di sana ada Veen, maka akan ada juga sosok Sally.

Ketergantungan ini telah tumbuh dari tahun ke tahun. Sallyana tenggelam akan indahnya bergantung pada penjaga yang senantiasa berada di sisinya hingga lupa terhadap takdir kehidupan manusia.

Bahagia.

Sedih.

Setiap kebahagiaan pasti diikuti oleh kesedihan, dan setiap kesedihan akan disambut oleh kebahagiaan.

Meskipun keduanya berpelukan di ruangan lembab gelap dan dingin, namun suhu yang keduanya rasakan hanyalah ada kehangatan. Bagaikan mentari bersinar bersama cahaya silaunya yang lembut di tengah gelapnya dunia kesedihan para manusia, mentari membawa bahagia dengan caranya sendiri.

Dan Sallyana—sosok mentari yang sinar hangatnya telah dicuri lalu dibawa pergi, kini telah berhasil merasakan kembali cahaya hangatnya yang sempat hilang tercuri.

Walau ragu, Veen menghembuskan nafas panjang kemudian menyentuh puncak kepala Sallyana yang masih sama—terasa halus dan nyaman untuk disentuh. Kenangan kecil indah yang mereka lalui bersama seketika menyeruak gila-gilaan tanpa batas. Hatinya goyah sebelum bayangan Sela muncul, detik setelahnya Veen berhasil mengontrol hati.

"Veen ... Veen ..."

"Veen di sini."

Tangisan Sallyana kian tak terbendung. Dia menangis lalu memanggil-manggil nama Veen seperti ketika dia masih kecil, begitu terus berulang-ulang. Dan Veen tanpa lelah menjawab setiap panggilan sedih Sallyana.

Tahukah Veen betapa Sallyana sangat merindukan hadirnya di sisinya?

"Tenang, jangan nangis lagi." Nasihat Veen lembut. Namun seolah menjadi tuli lagi, perempuan di dalam pelukannya belum mau berhenti menangis. Dia berniat melepaskan lengan Sallyana, yah, awalnya begitu, sampai jemarinya tak sengaja menyentuh pergelangan tangan kiri si kecil.

Ia merasakan plester kasar senada dengan warna kulit, Sallyana memakai ini agar bekas luka akibat terkena air panas dan sayatan pisau tidak terlihat oleh guru atau teman-teman. Bayangan dimana dia menendang meja hingga air susu panas tumpah ke lengan kiri Sallyana terngiang dibenak.

Veen urung, menarik kembali kedua lengannya. Tak berniat melepas paksa Sallyana dari tubuhnya. Dia kembali menyentuh pucak kepala Sallyana, telapak tangan lebarnya diam tidak bergerak, tatapan iris hitamnya mendadak kosong.

[ Veen, mau makan ayam! Mau makan ayam! ]

[ Veen ayo lihat! Sally dapat nilai seratus! ]

[ Ini Sally dan ini Veen, nanti kalau udah gede, kita pakai baju warna ini, ya? ]

[ Veen ... ]

[ Veen ... ]

[ Veen ... ]

Memori demi memori masa lalu terus berdatangan. Bayangan anak perempuan kecil dengan sepasang manik mata karamel jernihnya yang indah bagaikan kilauan bintang, senyumnya yang sehangat mentari, serta suaranya yang begitu manis.

Kening Veen berkerut akibat perasaan asing secara perlahan berusaha menerobos masuk ke ruang hatinya dengan ilegal. Telapak tangan yang semula hanya diam berada di atas kepala kecil Sallyana—lambat tapi pasti bergerak turun ke leher gadis itu. Veen menekan leher Sallyana ke depan, memaksa malaikat kecilnya masuk semakin dalam ke pelukan hangatnya.

Siapa yang salah?

Siapa yang harus dibenci?

Veen memeluk erat Sallyana yang menangis, seakan-akan takut bahwa momen hangat ini hanyalah ilusi belaka yang tak pernah lagi dia harapkan sejak tahun lalu. "Menangislah, Veen ada di sini."

Sallyana mengeratkan pelukannya, "Sally rindu Veen."

Diluar pintu toilet, Vino berdiri tegak. Lengan kirinya terhenti diambang udara, manik mata abu indahnya menyendu. Kepalanya tertunduk melihat ubin lantai, senyuman miris hadir. Dia tadi bingung kenapa Kim Taehyun kembali seorang diri dan Veen yang tiba-tiba pergi ke toilet tak kunjung kembali. Vino berinisiatif mencari disekitar ruangan Kepala Sekolah dan tatapannya terjauh pada toilet laki-laki ini.

Isakan tangis di dalam ruangan tersebut menyayat hati Vino. Namun suara bas milik pemuda lain di dalam sana lebih terasa menyakitkan bagi hatinya. Mungkin benar, "Kamu lebih butuh dia dari pada aku." Lantas pemuda itu berbalik pergi, menahan Sela yang juga ingin mencari Veen yang tidak kunjung kembali. Vino ingin memberikan adik kecilnya sedikit waktu bersama penjaga hidupnya yang pernah hilang dicuri perempuan lain.





***
Yang nulis oleng-olengan ke kapal a ke kapal b😭

Instagram ; zura_tzu

SALLVEEN [WBM 2] - [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang