Di teras rumah, duduk di sebuah kursi kayu. Sambil memangku bocah 5 tahun itu. Senandung kecil keluar dari mulutnya untuk menenangkan putranya yang baru saja mendapat mimpi buruk. Ini sudah satu jam lebih mereka berada di sana. Kalau boleh jujur, Jimin sudah tak kuat menahan kantuknya. Namun ketika diangkat untuk kembali masuk ke rumah, Junghwan selalu terbangun dan kembali merengek. Manja sekali.
"Hmmm..." Jimin menyudahi senandungnya. Ia memeriksa Junghwan yang sudah terlelap. Mencoba peruntungannya kali ini, siapa tahu saja...
"Nghhhh aaaa hikss hikss aaaa~"
Gagal.
Menghela nafas, Jimin pun kembali duduk. Ia membenarkan posisi duduk Junghwan yang menghadap ke arahnya. Bersandar pada dadanya yang bidang.
"Kenapa tidak mau masuk hmm? Appa sudah mengantuk." Jimin berkata dengan suaranya yang parau. Ia menengok jam yang ada di dalam rumah. Menunjukkan pukul 2 dini hari. Sebenarnya ia memang sengaja pulang awal karena ada pemeriksaan mendadak di club milik Jay, yang mengakibatkan tempat itu harus ditutup selama proses berlangsung.
"Nggak mau. Mau di sini dulu, " jawabnya.
Jimin kembali menarik nafas. Tak apalah ia menahan ngantuk. Jarang-jarang juga ia menghabiskan waktu bersama Junghwan, mendengar riuh jangkrik di malam hari.
"Mimpi apa tadi, Sayang?" Jimin bertanya setelah ingat apa alasan ia berada di teras seperti ini. Tiba-tiba ia merasakan pelukan bocah itu semakin erat.
"Seburuk itu ya mimpinya?"
Junghwan mengangguk dengan ingus yang beberapa kali ia sedot. Jorok memang. Namanya juga bocah. Jimin pun mengelap ingus itu dengan ujung kaosnya. Setelahnya ia mendongakkan dagu Junghwan perlahan-lahan. Menatap iris biru gelapnya yang masih basah.
"Mau cerita?"
Bocah itu tidak menjawab. Memilih kembali memeluk ayahnya dengan erat.
"Appa, eomma jangan hamil lagi ya?" ucapnya tiba-tiba dengan suara yang sengau. Jimin menaikkan sebelah alisnya. "Huh?"
"Junghwan nggak mau punya adik, " sambungnya.
"Kenapa tiba-tiba bilang begitu sih? Bukanya dulu kamu sendiri yang minta?"
Junghwan menggeleng. "Nggak mau, nggak jadi"
"Loh kenapa?"
Bocah itu tidak menjawab. Hanya pelukan yang Jimin terima semakin bertambah erat. Bibirnya pun mengulum senyum. Tanpa dijawab pun, Jimin mulai paham arti gesture yang Junghwan tunjukan.
"Kamu khawatir kalau punya adik nanti, Appa dan Eomma lupa dengan kamu, kan?"
Junghwan mengangguk dengan sungkan. Ia malu. Apalagi setelah mendengar Jimin terkekeh.
"Appa sangat paham bagaimana perasaan kamu, kok"
"Hm?"
"Appa juga pernah punya adik"
"Oh ya? Kenapa Junghwan tidak tahu?"
"Karena dia sudah meninggal"
"Huh? Kenapa meninggal?"
"Sakit"
"Ohh. Kasihan ya?"
Jimin balas dengan anggukan. Ia menunduk, mempertemukan kembali dua pasang iris biru gelap itu. "Itulah kenapa Appa selalu ingatkan kamu untuk jaga kesehatan, mengerti kan sekarang?"
"Iya"
"Awal ketika adik Appa lahir, memang perhatian nenek dan kakek sepenuhnya ada pada dia. Appa juga pernah merasa marah dan kesal ketika kehilangan perhatian itu. Tapi kembali lagi, dia hanyalah bayi yang tidak bisa melakukan apapun sendiri. Sedangkan Appa kala itu sudah bisa melakukan banyak hal. Jadi, yah... Untuk apa merasa iri? Toh nenek juga tetap merawat Appa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawless 4 : Behind Blue Eyes ( Lismin) - COMPLETE ✔
FanfictionJimin adalah seorang pria paling buruk menurut banyak laki - laki karena ia meninggalkan anak dan istrinya hanya karena ego. Namun siapa sangka, dibalik semua itu. Jimin adalah suami dan ayah yang rela berkorban segalanya demi keluarga. Buku ini aka...