Dua bulan sebelumnya ....
"Belanda?" Nindi tersentak mendengar nama negara yang baru saja disebutkan manajernya.
Perempuan bertubuh tambun di depannya mengangguk. "Iya. Ini proyek adaptasi novel dari penulis ternama yang bersetting di Belanda. Artinya memang harus syuting di sana, kan!"
Nindi memijat keningnya. Padahal baru tadi malam dia sangat senang saat Mbak Niken mengabari ada job untuknya. Pasalnya, pamornya mulai turun akhir-akhir ini.
"Ada kendala?" tanya Niken setelah melihat Nindi menghela napas pendek-pendek sambil meremas jemarinya. Dia akan begitu saat gelisah.
"Kayaknya aku nggak bisa ninggalin Dea, Mbak."
"Aku sudah menduga akan mendengar kalimat ini," ujar Niken sambil menegakkan duduknya. "Tapi ingat, setelah menikah dan punya anak, kamu bukan Nindi yang dulu lagi. Harus diakui, penggemarmu tidak sebanyak dulu lagi. Bintang-bintang baru yang tak kalah potensial terus bermunculan. Kamu akan semakin tenggelam kalau pilih-pilih job begini."
"Bukan pilih-pilih, Mbak, tapi ...."
"Dea bukan bayi lagi, kan? Bisalah ditinggal sebulan dua bulan. Lagian ada papanya, kan?"
Nindi berpikir keras. Itu juga masalahnya. Dia akan merasa bersalah kalau harus menyerahkan urusan Dea sepenuhnya ke Gandi. Dia tahu suaminya itu juga lumayan sibuk.
"Aku susah payah, loh, meyakinkan produser untuk milih kamu."
"Iya, Mbak. Aku paham. Tolong kasih waktu, Mbak, aku mau omongin dulu sama Gandi."
"Oke. Itu pasti. Tapi jangan lama-lama, ya. Soalnya tim produksi harus segera merampungkan tim. Berhubung ini syutingnya di luar negeri, persiapan agak sedikit ribet dari biasanya."
Nindi mengangguk. "Iya, Mbak."
Selesai meeting dengan Niken, sebenarnya Nindi sudah tidak bersemangat menjalani sisa harinya. Pikirannya bercabang-cabang. Namun, dia masih harus meladeni wawancara dari beberapa media dan pemotretan untuk iklan sebuah parfum dari brand ternama.
Capek sudah pasti, tapi sejauh ini Nindi sangat menikmati. Ini dunia yang dia impikan sejak dulu. Hanya saja, tidak bisa dipungkiri, keadaannya agak sedikit berbeda setelah dia berstatus istri dan ibu. Dia punya tambahan tanggung jawab yang tidak kalah penting. Malah, mungkin bisa dikatakan jauh lebih penting. Buktinya, banyak perempuan yang rela melepas karier setelah menikah. Namun, Nindi tidak ingin itu terjadi. Dia ingin tetap stay di dunia hiburan hingga tua. Tampil di depan kamera punya nikmat tersendiri baginya.
Khusus hari ini, tawaran film yang akan syuting di Belanda itu membuat rasa capeknya dua kali lebih berat dari biasanya.
Setelah semua urusannya selesai, Nindi buru-buru pulang. Dia ingin tiba di rumah lebih dulu dari suaminya. Meski sempat terjebak macet, Nindi bersyukur karena tidak melihat mobil Gandi di garasi. Artinya, suaminya belum pulang. Sepertinya Gandi akan pulang magrib lagi. Nindi punya waktu sekitar sejam untuk menyiapkan hidangan.
Ruangan yang paling pertama Nindi tuju ketika baru tiba di rumah adalah kamar Dea.
"Sayang?" panggil Nindi sambil membuka pintu kamar bernuansa Frozen itu. Namun, ternyata anak itu tidak ada di kamarnya.
Nindi lekas beralih ke dapur. Dan benar dugaannya, putri kecilnya itu sedang merecoki Bibi yang lagi masak.
"Sayang ...."
Dea langsung menghambur ke pelukan mamanya. Nindi memeluknya penuh cinta, lalu mengecup kedua pipinya.
"Gimana sekolahnya hari ini, Sayang?" tanya Nindi sambil menjawil hidung anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Terlalu Sibuk
RomanceDari awal Gandi paham konsekuensinya beristrikan artis yang sangat sibuk. Dia tidak mempermasalahkan istrinya jarang di rumah. Namun, ketika Gandi menemukan kenyamanan dari seorang babysitter yang baru bekerja di rumah mereka, segalanya berubah. Sem...