6 - Di Balik Senyum Palsu

338 55 0
                                    

Istriku: Sayang, aku lagi di Starbucks depan kantor kamu. Kamu bisa ke sini bentar, nggak?

Gandi baru saja selesai mengecek hasil pekerjaan stafnya ketika menerima pesan itu. Dia tahu, nada pesan itu bukan sekadar penyampaian, kebetulan, atau semacamnya. Jadi, kira-kira ada apa gerangan tiba-tiba Nindi mengajak ketemuan di sana, alih-alih menunggu mereka ketemu di rumah saja beberapa jam lagi?

Anda: Oke, Sayang, aku langsung ke sana.

Usai mengirim balasan, Gandi merapikan sedikit meja kerjanya, lalu meraih jaket dan bergegas keluar.

Sebenarnya posisi Starbucks itu tidak pas berhadapan banget dengan kantor Gandi, agak serong, tapi masih aman dijangkau dengan jalan kaki. Malah akan merepotkan kalau memaksakan pakai mobil lagi, mutarnya agak jauh.

Setibanya, Gandi langsung bisa menemukan istrinya. Ya, di matanya, Nindi akan selalu paling cantik di tengah lautan perempuan sekali pun.

"Kamu nggak lagi sibuk, kan?" tanya Nindi saat Gandi sudah duduk di hadapannya.

"Sibuk pun aku pasti datang kalau kamu yang minta." Gandi tersenyum lebar.

Kalimat semacam itu selalu membuat Nindi merasa beruntung. Tak banyak perempuan di dunia ini yang berhasil menemukan lelaki sehangat Gandi.

"Tapi, ada apa, nih? Kok, tumben banget ngajak ketemuan di jam segini," tanya Gandi sambil melirik sejenak arlojinya, lalu menautkan jemari di atas meja.

Nindi menghela napas panjang sebelum berkata, "Ternyata aku dipasangkan dengan Gaza di film itu." Dia hampir tercekat saat menyebut nama mantan di depan suami.

"Udah tahu, kok. Tadi dikasih tahu Saman."

Nindi meringis samar. Padahal dia berniat memberitahukan langsung, makanya bela-belain ngajak ketemu jam segini.

"Aku juga baru tadi banget tahunya."

"Lalu, kenapa kamu kelihatan stres begitu?" Gandi melembutkan suaranya. "Hm?"

"Sayang, kamu nggak apa-apa, kan?"

Gandi malah terkekeh ringan. "Emangnya aku kenapa?"

"Kalau semisal kamu keberatan, atau apa pun itu, aku bisa mundur, kok. Nggak apa-apa aku kehilangan film itu."

Tangan kanan Gandi merayap untuk menjangkau tangan Nindi. "Kamu tahu, kan, dari awal aku selalu percaya sama kamu. Kalau kamu mundur hanya karena nggak enak sama aku, nanti gantian aku yang nggak enak."

Nindi menatap mata suaminya dalam-dalam.

"Gaza itu cuma masa lalu, lelaki yang tidak lebih beruntung dariku untuk memilikimu."

Nindi sangat tersentuh. "Serius, kamu nggak keberatan?"

Gandi mengangguk seraya tersenyum baik-baik saja.

"Makasih, Sayang." Nindi balas tersenyum.

Lagi-lagi Gandi sembunyi di balik senyum palsu itu. Dia menelan mentah-mentah kegundahannya sendiri demi memastikan Nindi selalu nyaman hidup berdampingan dengannya. Dia sudah terbiasa begitu sejak awal. Wajar jika selama ini rumah tangga mereka keseringan berjalan sesuai keputusan Nindi. Gandi bahkan tidak sadar, bahwa banyak hal di dirinya yang terpaksa diubah demi mengimbangi Nindi.

***

Hari keberangkatan pun tiba. Gandi meluangkan waktu khusus untuk mengantar Nindi ke bandara. Dea tentu saja juga ikut. Sedari tadi anak itu lengket terus sama maminya.

Di bandara, ternyata para kru dan pemain lain sudah berkumpul. Gandi paham, Nindi harus langsung bergabung dengan mereka. Jadi, tidak perlu ada ritual perpisahan yang berlebihan. Belum lagi ada beberapa wartawan. Entahlah, Gandi selalu risi kalau tahu sedang disorot kamera.

Istriku Terlalu SibukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang