Mumpung hari ini sudah input cuti, sepulang dari bandara Gandi memutuskan untuk berkunjung ke rumah orangtuanya. Sudah beberapa minggu dia tidak ke sana. Mereka pasti sudah kangen banget sama cucunya.
"Assalamualaikum ...." Gandi mengucap salam sambil mengetuk pintu perlahan. Yang paling dia suka setiap kali pulang ke rumah ini adalah, aroma kenangan masa kecil yang bertebaran di setiap sudut.
Mendengar suara yang sangat dihafalnya itu, Hani yang tadinya sedang rebahan di depan televisi di ruang tengah langsung bangkit dan bergegas ke depan. Dia mengucir rambutnya sambil berlari-lari kecil. Setibanya di depan, dia langsung menarik hendel pintu dengan senyum yang sudah mengembang.
"Bu ...." Gandi langsung meraih dan mencium tangan ibunya begitu pintu terbuka. "Ibu lagi apa?" tanyanya kemudian.
"Jam segini apa lagi kalau bukan nonton serial India." Gamal yang menjawab disertai kekehan. Dia baru muncul dari pintu ruang tengah.
Gandi beralih melakukan hal yang sama terhadap ayahnya itu. Sementara Hani yang sudah tidak sabaran, langsung menciduk Dea ke dalam gendongannya. Dia mencium kedua pipinya bolak-balik. Anak itu terkekeh kegelian.
Orangtua Gandi merintis bisnis perhiasan sejak awal menikah. Mereka sudah punya beberapa toko dengan omset yang lumayan. Namun, sejak dua tahun terakhir mereka sudah menunjuk beberapa orang kepercayaan untuk mengelola usaha tersebut. Mereka cukup memantau dari rumah sambil menikmati hasil jerih payah mereka selama ini.
Bagi Gamal dan Hani, Gandi masih anak kecil mereka, tak peduli sekarang dia bahkan sudah punya Dea. Barangkali setiap orangtua akan seperti itu, terlebih untuk mereka yang hanya dikarunia satu anak. Seperti halnya Gamal dan Hani ini.
"Ayah sehat?" tanya Gandi selepas mencium tangan ayahnya.
"Alhamdulillah."
"Pinggangnya nggak sakit lagi, kan?"
"Sedikit, tapi nggak sesering dulu lagi. Obat yang kamu kirim minggu lalu kayaknya cocok."
"Syukurlah. Dilanjut aja minumnya, Yah. Yang rutin. Kalau habis tinggal kabarin Gandi."
Gamal mengangguk seraya tersenyum. "Oh ya, Nindi kenapa nggak ikut?" tanyanya.
"Ayah lupa, ya? Kan, hari ini dia ke Belanda. Tadi ada tuh beritanya di tivi." Hani yang menjawab.
Gandi menghela napas perlahan. Tidak ada yang salah dari cara bicara ibunya, tapi entah kenapa dia selalu bisa menangkap nada tidak suka di sana. Gandi paham, ibunya memang tidak menyukai Nindi sejak awal. Namun, dia tidak menyangka akan selarut ini. Dia pikir, seiring berjalannya waktu ibunya akan membukakan ruang hati dan memperlakukan Nindi lebih baik. Nyatanya belum hingga detik ini.
Hani sendiri sebenarnya tidak pernah benar-benar membenci Nindi. Harus dia akui, menantunya itu santun dan selalu menjaga cara bicaranya. Dia hanya tidak suka dengan pekerjaannya.
"Ibu heran, deh, kok, kamu bisa betah ditinggal-tinggal gitu?"
Topik ini lagi. Gandi sampai bosan.
"Ini bukan soal betah, Bu, tapi Nindi juga punya tanggung jawab yang harus diselesaikan."
"Ini, nih, yang bikin Ibu dulu nggak setuju kamu menikahi artis. Salah satu tujuan lelaki menikah biar ada yang ngurus. Tapi kamu?" Hani mengamati wajah Gandi lebih dekat. "Tuh, pipi kamu makin tirus. Pasti makannya nggak teratur."
Astaga! Gandi berdecak dalam hati. "Nindi ngurus Gandi dengan baik, kok, Bu. Lagian, perasaan dari dulu pipi Gandi emang gini."
"Ibu ini paling tahu soal kamu. Ibu tahu kapan berat badan kamu naik atau turun tanpa harus ditimbang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Terlalu Sibuk
RomanceDari awal Gandi paham konsekuensinya beristrikan artis yang sangat sibuk. Dia tidak mempermasalahkan istrinya jarang di rumah. Namun, ketika Gandi menemukan kenyamanan dari seorang babysitter yang baru bekerja di rumah mereka, segalanya berubah. Sem...