4 - Kebutuhan Hati

529 53 4
                                    

Sebagai karyawan yang masih diwajibkan on time, Gandi cukup bijak menyisihkan sebagian paginya untuk sekadar mengantar Dea ke sekolah. Kalau tiba-tiba dia harus berangkat lebih awal,  tanggung jawab itu pun beralih ke Bibi dengan mengandalkan taksi online. Atau sesekali Nindi yang mengantar, kalau kebetulan dia tidak ada kerjaan pagi. Namun, akhir-akhir ini dia tampak lebih sibuk dari biasanya. Tadi pagi saja, dia berangkat sebelum Dea bangun. Katanya, pukul tujuh dia harus live di salah satu stasiun televisi. Gandi lupa nama acaranya. Entah demi apa harus sepagi itu. Memang ada yang akan nonton?

Situasi lain yang menguntungkan, sebagai manajer marketing, sesekali Gandi ada meeting di luar kantor dengan calon relasi. Hal itu sebisa mungkin dia cocokkan dengan jam pulang Dea. Seperti siang ini misalnya. Meeting-nya setengah jam lagi, dan dia sudah ada di depan sekolah Dea, pas jam pulang.

Gandi turun dari mobilnya, mengamati anak-anak mungil itu bermunculan dari gerbang dengan tertib, disambut oleh orangtua atau pengasuh mereka. Tidak lama kemudian, Dea muncul bersama Bibi. Anak itu langsung melepas pegangannya pada Bibi dan berlari begitu melihat Gandi.

"Papi ...!"

Gandi jongkok untuk mempersiapkan pelukan sambutan. Dan ketika anak itu larut dalam dekapannya, hati Gandi kembali menghangat, sama saat pertama kali dia menggendongnya ketika baru lahir. Sama seperti kebanyakan orangtua, Gandi merasa Dea adalah anugerah terbaik di hidupnya.

"Belajarnya seru hari ini?" tanya Gandi setelah pelukan mereka lerai.

Dea mengangguk antusias.

"Bekalnya habis, kan?"

"Habis, dong," jawab Dea lantang. Dia memang segirang itu kalau dijemput orangtuanya.

"Ya udah, pulang, yuk."

Dea mengangguk sambil tersenyum lebar.

Gandi pun membukakan pintu depan. Dia ingin bersebelahan dengan putri kecilnya itu. Bibi juga langsung ikut naik. Dia duduk di tengah.

Sepanjang jalan Dea tidak hentinya berceloteh. Kebanyakan topiknya seputar teman-temannya. Kedua telinga Gandi menampung semua itu dengan sukacita. Baginya, suara Dea adalah irama terindah di dunia ini.

Diam-diam Gandi salut terhadap putri kecilnya ini. Dia seolah dipaksa untuk mengerti keadaan kedua orangtuanya sejak dini. Dia mungkin pernah iri melihat teman-temannya selalu diantar jemput mama-papa mereka, tapi dia tidak pernah mengeluhkannya.

Selesai mengantar Dea, Gandi langsung pergi lagi, tak lupa mengingatkan Bibi jadwal tidur siang putri kecilnya itu. Dia buru-buru ke lokasi meeting. Setibanya, ternyata di sana sudah ada Saman.

"Mereka belum datang?" tanya Gandi sambil menarik kursi untuk duduk.

Saman menggeleng.

"Huft .... Tahu gini aku nggak buru-buru ninggalin Dea."

Saman terkekeh ringan melihat wajah dongkol atasannya itu. Sebenarnya mereka teman sejak SMA, tapi karena Gandi lebih dulu bergabung di perusahaan itu, posisinya setingkat di atas Saman. Namun, kalau lagi berdua, apalagi di luar kantor seperti sekarang, Gandi meminta Saman untuk tidak usah bersikap formal. Lagian, sebentar lagi posisi mereka akan setara. Saman sedang menjalani masa percobaan untuk naik ke level manajer.

"Kamu sesayang itu, ya, sama Dea?"

"Lebih dari yang kamu pikir."

"Seru, ya, punya anak?"

"Kamu harus punya anak dulu baru bisa paham. Karena serunya itu udah di level yang nggak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya terlalu ajaib."

Istriku Terlalu SibukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang