3 - Sesuatu yang Pelan-Pelan Mulai Menyiksa

732 65 0
                                    

Waktu SMA, jika ditanya alasan Gandi menyukai Nindi, jawabannya akan sama dengan kebanyakan cowok; karena dia cantik. Awalnya cuma iseng, sekadar pengen tahu secantik apa cewek di kelas sebelah yang selalu jadi bahan omongan itu. Namun, pada akhirnya Gandi lupa, sejak kapan dia mulai berjuang untuk mendapatkan perhatian Nindi. Berjuang yang benar-benar berjuang, karena saingannya banyak. Dalam satu kelas saat itu, minimal separuh cowok di dalamnya ikut mengejar Nindi.

Meski selalu datang lebih awal, Gandi tidak akan masuk sebelum Nindi datang, yang entah kenapa selalu nyaris terlambat. Bahkan pernah sampai terlambat, dan Gandi dengan senang hati menyerahkan diri untuk dihukum juga.

Kalau kebetulan kelasnya ulangan lebih dulu, Gandi dengan senang hati menyalin soal-soal beserta jawabannya untuk Nindi pelajari. Di jam istirahat, Gandi selalu sudah ada di depan pintu kelas Nindi sebelum cewek itu keluar. Meski seringnya diabaikan karena Nindi lebih memilih ke kantin bareng gengnya.

Pernah sekali Nindi pingsan saat upacara bendera. Tanpa pikir dua kali Gandi langsung menerobos barisan untuk membopong cewek itu keluar lapangan, mendahului teman-teman sekelas Nindi, bahkan anak-anak PMR sekalipun.

Dan masih banyak perjuangan-perjuangan khas cowok SMA bucin yang Gandi tempuh.

Nindi sendiri, awalnya tidak terlalu menanggapi kehadiran Gandi, karena cowok yang mendekatinya sudah terlalu banyak, dengan berbagai cara. Namun, lama kelamaan dia bisa melihat sesuatu yang beda dari cowok kelas sebelah itu, sesuatu yang tidak ada di cowok-cowok lainnya. Dia terlihat lebih tulus dan apa adanya.

Ketika cowok lain berebut untuk mengantarnya pulang, Nindi pernah tidak sengaja melihat Gandi mengelap kursi kantin yang memang selalu dia duduki. Ketika cowok lain sibuk kasih bunga dan boneka, Gandi malah kasih buku panduan praktis akting. Intinya, Gandi berbeda dan paling bisa memahami. Dan pada akhirnya, Nindi tidak punya alasan untuk menolak ketika cowok itu menyatakan perasaan dengan cara yang tidak terduga di tengah lapangan upacara.

Gandi dan Nindi pun mulai mengarungi kisah cinta khas putih abu-abu dengan segenap pasang surutnya. Sempat putus nyambung juga. Hubungan mereka semakin stabil setelah kuliah. Mungkin karena mulai dewasa hingga cara berpikirnya pun lebih matang.

Akan tetapi, ketika akan melangkah ke jenjang pernikahan, orangtua masing-masing sempat tidak setuju. Orangtua Nindi menganggap pekerjaan Gandi kurang bisa ditempati putrinya untuk bergantung. Sementara orangtua Gandi tidak ingin punya menantu artis. Mereka pun berjuang bareng-bareng hingga mantap melangkah ke pelaminan, meski dengan restu yang agaknya masih setengah-setengah.

Setidaknya sah dulu. Soal pembuktian mereka memang pantas hidup bersama dan bisa menghadapi segala masalah, itu urusan nanti.

"Kamu keberatan, ya?"

Kalimat itu mengangkat Gandi dari pikiran entah. Pergolakan yang sejatinya tidak pernah benar-benar reda kembali gaduh di kepalanya. Sejujurnya, sebagai seorang suami, Gandi mendambakan istri yang selalu ada di rumah. Namun, ketika cintanya malah jatuh sejatuh-jatuhnya pada Nindi, pelan-pelan dia melupakan hal itu. Sejak awal dia tahu betul sebesar apa impian Nindi untuk jadi bintang.

Perihal ditinggal kerja, sebenarnya bukan hal baru lagi bagi Gandi. Nindi sering ke luar kota berhari-hari untuk keperluan syuting. Namun, kalau sampai ke luar negeri ... entah kenapa rasanya berbeda. Agak berat.

Nindi mulai khawatir ketika Gandi tidak juga berkata apa-apa. Suaminya itu hanya terus menatap dengan ekspresi yang sulit dibaca. Hingga akhirnya, senyumnya terbit perlahan-lahan.

"Sayang, kapan aku pernah menghalangi karier kamu? Selama kamu suka, aku nggak apa-apa, kok," katanya.

Nindi tahu betul, ucapan Gandi kali ini tidak benar-benar dari hati. Tatapannya tidak akan sayu begitu kalau dia benar-benar lagi antusias juga.

"Kalau misal kamu keberatan, aku bisa nolak, kok, tawaran itu."

Gandi tahu, itu opsi yang paling dihindari Nindi. Sudah cukup Nindi pernah menolak beberapa job karena batasan yang Gandi tetapkan.

"Kita udah sepakat, kan, perihal job yang harus kamu tolak." Gandi menatap lebih serius. Di balik perasaan entah yang masih merayap di dadanya, dia berusaha memasang gestur meyakinkan. "Selama nggak ada adegan ciuman dan sejenisnya, aku setuju-setuju aja dengan semua tawaran job yang datang." Sekilas, dia tersenyum. "Tapi ngomong-ngomong, film itu nggak ada adegan ciumannya, kan?"

Nindi terkekeh ringan. Sikap Gandi yang selalu mempertanyakan ada atau tidaknya adegan ciuman saat Nindi akan main film baru kadang terkesan romantis sekaligus mengekang di saat bersamaan. Nindi senang mendengar nada khawatir serta cemburu di kalimat itu. Itu artinya Gandi benar-benar mencintainya, benar-benar peduli. Namun, kadang juga Nindi merasa sayapnya sebagai bintang film kurang leluasa mengepak. Sudah ada beberapa film yang terpaksa Nindi lewatkan karena adanya adegan ciuman. Dan tiga di antaranya berhasil jadi film terlaris pada masa penayangannya. Artisnya otomatis banjir job. Nindi hanya bisa gigit jari. Harusnya dia yang mendapatkan kesempatan itu.

Akan tetapi, Nindi berusaha menghormati aturan yang ditetapkan Gandi. Sebagai seorang suami, dia berhak untuk itu. Nindi sangat paham.

"Mbak Niken udah hafal di luar kepala soal aturan itu. Dia nggak mungkin nawarin ke aku kalau di filmnya bakal ada adegan yang kamu khawtirkan itu." Nindi menggeser duduknya, merapat ke sang suami hingga bisa memeluk pinggangnya. "Emang kenapa kalau aku ciuman di film?" godanya.

Gandi menoleh secepat kilat. "Ya nggak boleh lah!"

"Kan, cuma akting. Nggak pakai rasa." Nindi menahan tawa melihat ekspresi cemberut itu.

"Apa pun! Aku perjuangin kamu dari SMA, terus laki-laki lain seenaknya mau nyicip? Demi Tuhan aku nggak akan rela."

Melihat pangkal alis suaminya kian menyudut, Nindi mendaratkan satu kecupan di pipinya.

"Iya, aku cuma bercanda, kok, Sayang. Nggak usah pakai urat." Nindi terkekeh. "Pokoknya, yang gitu-gitu dijamin aman. Kamu nggak usah khawatir, ya."

Pundak Gandi mengendur perlahan-lahan. Lalu sebelah tangannya melingkar di punggung Nindi.

"Makasih, loh, Sayang, karena masih sekhawatir dulu. Artinya, cinta kamu nggak surut sama sekali, kan?"

"Nggak akan pernah surut pokoknya. Yang ada malah tambah pasang, nih." Gandi akhirnya bisa terkekeh juga.

Nindi merebahkan kepala di dada sang suami, sambil mengeratkan lingkar tangannya. Kalimat tadi sungguh sangat menyejukkan.

"Jadi, boleh, nih, aku ke Belanda?"

Nindi bisa merasakan Gandi sedang mengangguk.

"Eh, atau kamu mau ikut?" tawar Nindi sambil melerai pelukan. "Aku bisa ngomong ke tim produksi."

"Pasti seru, sih. Tapi aku nggak mungkin ninggalin kerjaan aku. Dea juga harus sekolah."

Nindi tahu akan hal itu. Ajakan tadi hanya refleks.

"Oh ya, Sayang, beberapa hari lagi, kan, Bibi udah nggak kerja sama kita. Gimana soal penggantinya?"

"Astaga. Aku sampai lupa udah mau akhir bulan."

Bibi sudah kerja di rumah itu sebelum Dea lahir. Namun, mulai bulan depan perempuan paruh baya itu mau pulang ke kampung halamannya di Makassar. Katanya ada urusan mendesak yang harus diselesaikan.

"Kalau bisa nyari pengasuh aja buat Dea. Kalau soal kerjaan rumah, kan, nggak gimana-gimana banget."

Awalnya Gandi dan Nindi memang tidak mempekerjakan ART. Semuanya diambil alih keduanya dengan prinsip suami istri memang harus saling membantu. Namun, beda cerita ketika Nindi sudah hamil tua dan tidak selincah dulu lagi.

"Gimana kalau pengasuh yang sekalian bisa ngurus rumah juga?"

"Kalau ada. Tapi ngurus Dea, sih, yang lebih penting. Yang bisa antar jemput dia sekolah pas aku benar-benar lagi nggak sempat. Apa lagi, kan, kamu mau pergi."

Nindi mengangguk. "Oke, Sayang. Semoga bisa nemu secepatnya."

Selanjutnya, kebersamaan itu diwarnai dengan obrolan random. Di mata Nindi, semuanya akan berjalan lancar. Dia hanya tidak tahu, bahwa Gandi masih memendam sesuatu, sesuatu yang pelan-pelan mulai menyiksa.

***

[Bersambung]

Nindi mau nyari pengasuh anak, nih. Udah pada tahu, kan, bencana segera dimulai. 😱

Istriku Terlalu SibukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang