Jika benar ada ilmu khusus untuk mengambil hati anak kecil, Gandi yakin, Dita sudah mengkhatamkannya berkali-kali. Atau, setidaknya dia sangat memperhatikan dan mempraktikkan dengan benar semua ilmu pembekalan saat pertama kali dia melamar jadi pengasuh anak. Karena lihat saja, baru dua hari di rumah ini, dia sudah seakrab itu dengan Dea.
"Sus, Dea boleh minta tolong dikepangin?" tanya Dea sambil menikmati sarapannya. Pagi ini Dita membuatkannya roti panggang isi sosis.
"Boleh, dong." Dita pun mengambil alih sisir mungil dari genggaman Dea. "Mau kepang dua kayak Anna, atau kepang satu kayak Elsa?" tanyanya sambil mulai menyisir rambut hitam lurus anak itu.
"Kayak Elsa," seru Dea tidak sabaran.
"Oke."
Gandi sengaja menunda bergabung demi mengamati interaksi mereka. Ini pertama kalinya dia melihat Dita mengenakan seragam kerjanya. Namun, di balik seragam berwarna baby pink itu, dia tetap saja .... Gandi tidak bermaksud terang-terangan mengakui ini, tapi Dita memang menawan. Dia punya sisi kewanitaan yang elegan, yang akan tetap memancar meski tidak dibuat macam-macam.
Astaga!
Gandi menggeleng sambil menyugar rambutnya ke belakang. Agaknya dia sudah terlalu jauh mengurai tentang Dita di kepalanya. Sepagi ini pula.
"Sus, Dea mau punya rambut putih juga kayak Elsa."
Nada merengek itu kembali menarik perhatian Gandi ke mereka.
"Kalau sekarang nggak boleh, dong. Nanti dimarahin Bu Guru. Nanti, deh, kalau Dea udah gede. Tapi izin dulu sama Papi." Dita mengangkat sejenak pandangannya ke arah Gandi yang malah mematung di sana.
Ditatap setiba-tiba itu membuat Gandi agak salah tingkah. Rasanya seperti kepergop melakukan hal aneh-aneh, padahal jelas-jelas dia tidak ngapa-ngapain. Dia pun akhirnya mendekat.
"Tuh, Papi datang. Coba ngomong, deh, boleh atau nggak."
Dea langsung menoleh ke arah papinya. "Papi, kalau udah gede, Dea boleh punya rambut putih kayak Elsa?"
Gandi duduk di samping anak itu, mengelus kepalanya sambil berkata, "Boleh. Tapi Dea harus jadi anak pintar dulu. Jadi, mulai sekarang nggak boleh malas belajar dan harus nurut sama Papi dan Mami."
"Sama Sus Dita juga, ya?" imbuh anak itu dengan polos.
Gandi menatap Dita sekilas sebelum mengangguk.
Dita beranjak untuk mengambil sesuatu. "Bapak sekalian sarapan, kan?" tanyanya setelah kembali ke meja makan sambil membawa nampan. "Saya sudah siapkan dua butir telur rebus dan jus jeruk," katanya lagi sambil meletakkan kedua sajian itu di depan Gandi.
Gandi takjub. "Dari mana kamu tahu menu sarapanku kayak gini?" Dia menunjuk jus jeruk dan telur rebus yang sudah dikupas itu.
"Tadinya ngasal, sih, Pak. Soalnya saya pernah baca di internet, bahwa telur rebus dan jus jeruk salah satu kombinasi sarapan terbaik. Untunglah kalau sarapan Bapak memang begini."
Gandi tersenyum lebar sambil mulai menyendok telur rebusnya. "Makasih, ya."
"Sama-sama, Pak. Tapi untuk ke depannya, Bapak nggak perlu sungkan kayak gini. Sudah jadi kewajiban saya untuk melayani Bapak di rumah ini."
Sepertinya Dita memang serius dengan pekerjaannya. Gandi akan belajar menerimanya dari sekarang.
***
Ketika Gandi tiba di kantor pagi ini, seorang OB perempuan sedang mengepel lobi sambil curi-curi nonton acara gosip. Langkah Gandi terhenti begitu TV 21 inch yang menempel di dinding itu menayangkan video-video lama Nindi dengan Gaza.
Menyadari kehadiran Gandi, OB tadi langsung pura-pura acuh pada suara pembawa berita dan buru-buru melanjutkan pekerjaannya. Gandi jadi ikut-ikutan kikuk. Dia pun bergegas masuk lift untuk menuju ruangannya di lantai dua.
Setibanya di ruangannya, Gandi malah kepikiran dengan acara gosip tadi. Dia pun iseng membuka Instagram dan mengetik #NindiGaza di kolom pencarian. Seketika muncul ribuan postingan lama tentang sang istri bersama mantannya itu. Mau tidak mau Gandi teringat lagi masa itu, ketika Nindi lepas dari dekapannya dan berlabuh di dekapan lelaki lain. Di sepanjang sejarah percintaan mereka, bisa dikatakan masa itu adalah titik terendah, sampai-sampai tebersit di benak Nindi untuk mencari kebahagiaan lain.
Padahal kalau dipikir masalahnya sepele, hanya karena Gandi pernah mengkritik Nindi yang selalu pulang larut. Nindi yang kala itu memang sedang terlibat sinetron stripping, menganggap Gandi hanya cari-cari masalah, alih-alih berusaha memaklumi kondisinya. Nindi tahu Gandi sebenarnya paham, tapi entah kenapa harus diungkit-ungkit segala.
Padatnya jadwal syuting, ditambah sikap Gandi yang agak kekanak-kanakan itu membuat Nindi muak. Dia pun berniat menepi dengan mengakhiri hubungan. Karena merasa sudah tidak dihargai sebagai lelaki, Gandi pun agaknya tidak keberatan. Keputusan yang terkesan labil itu sudah pernah mereka tempuh sebelumnya. Namun, entah kenapa kali ini Nindi merasa perlu menemukan bahu lain untuk sekadar bersandar.
Di tengah konflik itu, masuklah Gaza, yang saat itu masih merupakan pendatang baru di dunia hiburan. Berita jadian mereka sempat gempar, tentu saja dengan bumbu-bumbu khas dunia selebriti yang selalu berhasil memancing para pemburu gosip.
Gandi tidak tahu pasti seperti apa hubungan Nindi dan Gaza berjalan, lalu tiba-tiba usai hanya dalam waktu dua bulan. Satu hal yang pasti, jeda itu membuat mereka sadar, bahwa sebenarnya mereka saling mencintai lebih besar dari yang mereka kira selama ini. Maka, tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk balikan. Mereka pun kembali memulai hubungan dengan pondasi yang lebih kuat.
Itulah mengapa, hingga detik ini Gandi sangat berhati-hati jika menyangkut pekerjaan Nindi. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak ingin hal buruk terjadi lagi, terlebih setelah mereka punya Dea.
Gandi masih menekuri ponselnya. Dia bisa saja mengabaikan postingan-postingan lama yang jelas-jelas hanya masa lalu itu, tapi tidak dengan beberapa postingan baru yang memperlihatkan kebersamaan Nindi dan Gaza di lokasi syuting, di Belanda sana. Sangat manusiawi jika benih-benih kekhawatiran pelan-pelan merayapi hati Gandi. Bagaimana pun, Gaza punya pesona yang bisa membuat ribuan perempuan di luar sana takluk dalam sekali kedipan. Dan yang paling Gandi garis bawahi, lelaki itu pernah punya perasaan ke Nindi.
Ataukah rasa itu masih ada?
Gandi meletakkan ponselnya sambil menggeleng. Dia tidak ingin meracuni pikirannya sendiri sepagi ini. Namun, dia masih tidak habis pikir dengan postingan-postingan itu. Kalau tujuannya untuk mempromosikan film, harusnya tidak perlu bawa-bawa masa lalu.
Sebisa mungkin Gandi tidak terpancing. Karena sejauh yang dia pelajari sejak berstatus suami artis, dunia hiburan memang begitu. Terkadang hal-hal semacam itu perlu sebagai senjata untuk memenangkan persaingan.
Gandi menyalakan laptop untuk memulai pekerjaannya hari ini, meski jam efektif kantor baru akan dimulai sekitar 40 menit lagi. Dia sudah terbiasa dengan pola terlalu rajin itu sejak dulu. Namun, tiba-tiba dia kepikiran untuk menelepon Nindi. Percakapan ringan mungkin bisa membuat harinya lebih semangat. Dia pun meraih ponsel, tapi diletakkan kembali sejurus kemudian. Dia baru ingat, bahwa mereka sedang berada di zona waktu yang berbeda. Di sana baru lewat tengah malam, Nindi pasti sudah tidur.
Ketika tatapan Gandi kembali ke monitor laptop, tiba-tiba ponselnya berdering. Istriku memanggil. Gandi pun buru-buru mengangkatnya.
"Halo, Sayang."
"Halo, Sayang. Kamu udah di kantor, ya?"
"Iya. Jam segini, kok, belum tidur?"
Ketika Nindi menjawab, samar-samar Gandi menangkap suara lain yang seolah sedang mengajak Nindi bicara. Suara lelaki. Gandi jadi tidak fokus.
Gandi memang tidak benar-benar mengenal Gaza, tapi dia lumayan tahu suara lelaki itu karena dulu sering kepoin video-video wawancaranya bersama Nindi. Dan Gandi yakin, suara lelaki tadi suara Gaza.
Mereka kerja sampai tengah malam?
Kalau bukan kerjaan, apa yang mereka bicarakan?
***
[Bersambung]
Wah, ada apa, nih? 😱
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Terlalu Sibuk
RomanceDari awal Gandi paham konsekuensinya beristrikan artis yang sangat sibuk. Dia tidak mempermasalahkan istrinya jarang di rumah. Namun, ketika Gandi menemukan kenyamanan dari seorang babysitter yang baru bekerja di rumah mereka, segalanya berubah. Sem...