(Name) termenung menatap mangkuk bubur yang tengah di genggam, sorot matanya hampa tak menunjukkan secercah sinar harapan.
Tangan nya bergerak pelan mengangkat sendok yang sedari tadi terendam bubur, bayangan tubuhnya yang kaku tak berdaya kembali muncul tepat saat sendok baru saja mendarat di dalam mulutnya.
Rasa mual mulai naik ke rongga dadanya, memaksanya untuk kembali memuntahkan bubur untuk kesekian kalinya.
Thoma menghela nafas berat, menatap bubur buatannya lagi-lagi keluar dari mulut (Name), dari pada sebuah rasa kecewa Thoma lebih menghawatirkan (Name) yang belum makan apapun.
Diluar malam lagi-lagi kembali menghiasi Teapot, namun (Name) tak kunjung membiarkan sesuap makanan tercerna perutnya.
Lumine mengusap pelan punggung (Name) yang baru selesai memuntahkan makanan nya, Venti datang membawa segelas air putih, wajahnya masih mengkerut penuh rasa khawatir.
"Apa mungkin (Name) masuk angin?" Seru Thoma, sorot matanya juga terlihat sangat khawatir dengan (Name).
"Uhh...a-aku baik-baik saja, hanya sepertinya perut ku memang sedikit bermasalah," seru (Name) sambil meminum air putih yang Venti berikan.
"Kita ke dokter yuk (Name), a-aku punya kenalan dokter hebat, ya mungkin bayaran nya memang akan mahal tapi Tartaglia bilang dia yang akan membayar nya," seru Lumine masih berusaha membujuk (Name) agar mau ke dokter.
"Benar nona (Name), kau tak perlu mengkhawatirkan soal biaya nya, kesehatan mu jauh lebih penting," sahut Tartaglia mengangguk setuju dengan ucapan Lumine.
"Tak perlu Lumine, Sungguh aku baik-baik saja, terimakasih karena mengkhawatirkan ku, tapi aku tak ingin membebani mu lebih jauh lagi, aku hanya perlu istirahat, bukanya nona Barbara juga bilang begitu?" Seru (Name) mengusap lembut tangan Lumine yang terus menggenggam tangan nya.
Lumine terdiam, sudah tak ada lagi kata bujukan yang bisa dia pikirkan untuk menggoyahkan keputusan (Name), Lumine menghembuskan nafas pasrah lalu mengangguk menatap (Name) yang tersenyum kearahnya.
"Baiklah, kalau kau butuh sesuatu aku ada di kamar yang semalam kau tempati," seru Lumine beranjak dari kasur nya.
"Karena ini sudah dingin aku akan membawanya, kalau perut mu mulai terasa enak kau bisa mengetuk pintu kamar tamu di lantai dua, kau tau bukan?" Seru Thoma menarik pelan mangkuk bubur yang (Name) pegang.
"Ya aku tau, terimakasih, dan maaf karena tak menghabiskan makanan mu," seru (Name) suaranya sedikit serak.
Thoma tersenyum lalu mengusap lembut puncak kepala (Name), Lumine di giring keluar bersama Tartaglia dan Thoma Meninggalkan (Name) berdua dengan Venti.
"Apa kau benar baik-baik saja (Name)?" Seru pelan Venti duduk di pinggir ranjang Lumine.
"Tentu, hanya masalah perut bukan hal fatal," seru (Name) lengkap dengan senyum palsunya.
"Tapi para angin mengatakan kau tak baik-baik saja (Name), apa kau tak bisa menceritakan nya pada ku? Atau karena kau belum mempercayai ku?" Seru Venti nada nya melemah seolah tersakiti sesuatu.
(Name) memilih diam tak ingin membuat Venti jadi terlalu mengkhawatirkan nya.
"Baiklah aku tak akan memaksa mu, namun jika kau butuh seseorang untuk jadi pendengar datang padaku ya?" Bujuk Venti lagi menggenggam kedua tangan (Name).
"Aku mengerti," seru (Name) mengangguk-an kepalanya dan tersenyum.
Venti melambaikan tangan nya pada (Name) lalu menutup pintu kamar Lumine.
Tangan (Name) membalas lambaian itu bersamaan dengan buliran air mata yang mulai tumpah dari kelopak matanya.
(Name) mati-matian menahan isak tangis yang hendak keluar dari mulut nya, mencengkeram kuat-kuat dadanya berusaha meyakinkan dirinya bahwa masih ada yang berdetak disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virus (Genshin Impact Ff)
FanfictionKamu yang awalnya hanya ingin dapat pekerjaan malah berakhir masuk ke dalam Game sebagai AI, lika-liku kehidupan pun kamu jalani disana sebagai orang asing. Sampai akhirnya kamu bertekad untuk menghancurkan hukum dunia Teyvat dan membebaskan semuany...