HARI 47

23 6 5
                                    


TERIAKAN PENUH AMARAH

"Buat apa mereka datang ke makam Mami? Ingin pamer kemesraan? Ingin memamerkan kebahagian mereka di depan Mami, hah?" Grace meremas kedua tangan lebih kencang.

Di dalam bayangannya, Marta tersenyum bahagia campur kemenangan menatap nisan Maria. Memeluk mesra lengan kekar Peter.

Amarah makin menghimpit dada Grace, membuat oksigen sulit masuk ke lorong pernafasan.

"Kita pulang," pemberitahuan Mahesa, memecahkan gelembung imajinasi Grace yang hanya membuat gadis itu sesak.

Grace menggeleng. "Bukan kita yang pulang, tapi mereka," lanjutnya geram, sambil membuka pintu mobil. Grace akan melakukan apa yang ada dalam pikirannya.

Seakan sudah tahu apa yang ingin gadis itu lakukan. Mahesa segera menangkap lengan Grace, menahan. Grace menepis genggaman tangan Mahesa, namun cengkeraman pria itu lebih kuat.

"Lepas, Mahesa!" desis Grace menahan amarah yang makin mengebu-ngebu. Dia akan melampiaskan amarah ke orang-orang yang tepat dan berhak mendapatkan amarahnya yang sudah tertampung selama bertahun-tahun.

"Jangan, Grace! Mereka nggak sesuai apa yang kamu pikirkan!"

"LAPASIN! MEREKA HARUS PERGI DARI MAKAM MAMI! MAMI JUGA NGGAK SUDI TERIMA PARA PENGKHIANAT!" teriak Grace berang. Menepis lebih kuat hingga tangan Mahesa terlepas dari lengan Grace.

"GRACE!" teriak Mahesa mencoba untuk menghentikan Grace 'meledakan' isi kepalanya yang penuh kebencian itu.

Sayangnya, Grace sudah tidak bisa kendalikan. Grace bagai anjing galak yang sudah tak betah berada kandangnya. Saat dia dikeluarkan dia ingin melakukan apa yang dia mau.

Amarah meluap hanya karena percaya dengan imajinasinya yang belum tentu sesuai dengan kenyataan.

"PERGI KALIAN DARI MAKAM MAMI!" teriak Grace menggelegar. Tidak peduli beberapa orang menatapnya dengan kaget dan merasa terganggu.

Peter, Marta, dan Mercy yang berada di depan makam Maria, menoleh dengan ekspresi terkejut. Mercy takut, karena Grace bukan lawan yang bisa gadis berusia delapan belas tahun itu hadapi. Marta makin menyesal dan merasa bersalah atas perbuatan di masa lalu dan miris melihat keadaan psikologis keponakannya. Peter tampak marah dan malu. Putri sulung yang selalu jadi bahan pujian tetangga dan keluarga kini menjadi sosok gila dan mengerikan.

"PERGI! KALIAN NGGAK TULIKAN? BUAT APA KALIAN DATANG KE MAKAM MAMI, HAH? INGIN PAMER KEBAHAGIAN! INGIN KASIH LIAT MAMI KALO KALIAN PASANGAN YANG SEMPURNA!" teriak Grace menumpahkan apa yang ada di kepala. Nafasnya memburu hebat. Tatapan tajam, seakan ingin melenyapkan mereka yang berdiri

"Grace, jangan seperti ini," pinta Mahesa cemas. Mendekat dan mendekap Grace dari belakang.

Grace meronta-ronta dalam dekapan Mahesa, meminta untuk dilepaskan. Mata Grace makin nyalang. Matanya tertuju pada Peter melangkah mendekatinya.

"LEPASIN AKU! LEPASIN AKU MAHESA! AKU HARUS USIR MEREKA MAHESA. KITA YANG HARUSNYA..."

Grace menghentikan ucapannya. Tangannya ditarik dan tubuhnya lepas dari dekapan Mahesa. Tubuh berputar, menghadapan Peter yang langsung melayangkan tamparan yang keras. Sesaat kemudian, pipi Grace terasa panas.

"Kenapa kamu jadi anak kurang waras seperti ini, hah? BIKIN MALU!" teriak amarah Peter. Dadanya naik turun. Kecewa, marah, campur sesal. Lagi-lagi dia tak bisa menahan emosi. Dan dia tahu Grace makin membencinya.

Tatapan Grace menantang dan penuh kebencian. Air mata keluar dari sudut mata.

"Kita pulang, Grace!" bujuk Mahesa lembut setengah memohon.

"NGGAK! Aku mau mereka yang pulang! Aku masih mau rayain ulang tahun Mami..."

"Gila kamu, Grace! Mami sudah meninggal! Buat apa kamu bawa kue buat orang yang udah meninggal? Memang Mami bisa makan, Hah?" amarah Peter makin meluap.

"Setidaknya aku masih ada untuk Mami, walaupun Mami udah nggak ada. Beda sama kalian, mengkhianati Mami saat Mami masih hidup dan sehat. Aku hanya mau rayain ulang tahun Mami. " desis Grace. Matanya masih memancarkan amarah yang makin besar. Dada naik turun dengan nafas memburu.

"Om untuk kali ini saja, saya mohon mengalahlah pada Grace!" minta Mahesa dengan sopan.

Peter menghelakan nafas dan mengusap kasar wajah. Kedua tangan meremas kencang. Berusaha menurunkan ego dan menyurutkan amarah. Menyadari jika yang putrinya tampilkan adalah bentuk kekecewaan dan amarah yang sudah bertumpuk-tumpuk lama dan sudah tidak bisa disimpan lagi. Peter tahu Grace tidak akan mengalah jika keingannya sudah sangat kuat.

Peter mengalah, mengajak Marta dan Mercy pulang. Membiarkan Grace kembali berada di makam Maria.

"Mami..." Grace kembali ke makam Maria. Mengusap photo Mami dalam nisan dengan kasih sayang dan kelegaan Air mata Grace jatuh bertubi-tubi di pusaran sang bunda.

Mahesa hanya bisa diam, membiarkan Grace bertingkah sesuai perintah kepalanya. Belajar memahami tingkah Grace. Toh, bukan pertama kali Grace seperti ini. Mahesa bahkan sudah menebak Grace akan bertindak seperti ini sejak melihat reaksi Grace ketika Mercy merebut potongan kue ulang tahun untuk Mami.

"Apa kamu ingin mengulang acara ulang tahun Mami, Grace?" tanya Mahesa mengelus rambut Grace penuh kasih sayang.

Grace mengangguk. Raut wajah bak anak anjing yang sudah dijinakan.

Grace bersama Mahesa mengulang 'perayaan' ulang tahun Mami. Grace kembali bernyanyi dengan riang dan bahagia seakan melupakan sepuluh menit yang lalu tidak terjadi apa-apa.

Grace tidak peduli dengan tatapan tajam dan menghakiman dari orang-orang yang melihat tingkah lakunya untuk mendapatkan apa yang gadis itu mau. Itulah yang menjadi daya tarik Grace di mata Mahesa.

Grace meringis, memegang pipi bekas tamparan Peter. Tatapan kembali benci dan marah yang tertuju untuk sang ayah yang tak pernah mau dia akui lagi. Dada terasa panas.

"Aku nggak akan pernah maafkan mereka. Nggak akan pernah!" tegas Grace melampiaskan amarahnya.

"Kamu pernah menyayangi mereka, sangat menyayangi mereka, Grace." Mahesa mengusap pipi Grace dengan penuh kasih sayang. Menarik tubuh Grace dalam dekapannya.

"Itu udah berlalu, Mahesa. Bagiku mereka adalah musuh besarku. Mereka mengkhianati aku, terlebih lagi Mami." mulut Grace bergetar. "Seharusnya mereka yang..." Grace menggeleng, ingin meralat. "Wanita iblis itu dan anaknya yang seharusnya tertanam di dalam sini. Seharusnya sel-sel kanker itu ada di tubuh wanita itu," ucap Grace penuh kebencian.

"Bagaimana mereka bersama?" tanya Mahesa mengorek lebih dalam. Tapi, dekapannya lebih erat. Seakan ingin melindungi Grace dari sesuatu yang jauh lebih sakit dari yang sekarang dia rasakan.

Lama untuk Grace kedua lengannya memegang lengan kokoh Mahesa. Bahunya berguncang, membayangkan sosok masa kecil yang berlari ke Mami. Bertanya kapan ayah dan suami mereka pulang?

Grace kesepian. Grace merindukan sosok pria satu-satunya di keluarga kecil itu. Setiap hari pertanyaan ke Grace ke Mami hanya satu, kapan Papi pulang? Sampai Mami marah dan menangis, ke esok harinya Grace berhenti bertanya tentang Papi. Pianolah jadi tempat Grace mencurahkan isi hatinya, rasa rindu, bingung, dan marah atas 'menghilang'nya Peter dari hidupnya. Apalagi tak sengaja melihat interaksi Sunny dan Papa Erik. Grace begitu mendambakan hadirnya Peter.

"Suatu hari di pesta pernikahan kakak sepupu, aku kembali melihat Papi dari jauh. Ketika aku ingin berlari dan memeluknya, langkah kecilku berhenti. Tawaku berganti jadi tangisan, aku melihat Papi mengandeng tangan A Yi dan memeluk seorang bayi perempuan dengan penuh kasih sayang. Saat itu semua pertanyaan terjawab, Papi sudah diambil oleh perempuan iblis itu," air mata berlinang kembali, sesak memenuhi dada.

"Menangislah, Grace! Menangis sampai puas!" Mahesa mendekap lebih erat. Mahesa meremas kedua tangannya, ada amarah. Bukan untuk gadis dalam dekapannya, tapi sosok-sosok yang telah menyakiti Grace.

Tangisan itu seakan mendatangkan senja, pemakaman terlihat lebih cantik dengan warna orange di langit. Senja dan Mahesa menemani Grace menangis hingga surut dan kembali menampilkan senyuman meski samar. Senyuman terima kasih atas keras kepala Mahesa yang ingin menemaninya ke sini. Entah apa yang akan Grace lakukan jika Mahesa tidak menemaninya ke makam Mami.  

KOST NONA GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang