PART 7

312 51 5
                                    

Seiya sudah pulang dari apartemen Joana, saat masuk rumah pemandangan pertama yang ia lihat adalah keluarganya yang hendak makan siang, Mama, Papa dan Haruto. Adik laki-lakinya itu tersenyum tipis pada Seiya ketika tidak sengaja melakukan kontak mata tetapi ia langsung alihkan pandangan.

"Sei, kebetulan kita baru mau mulai, ayo duduk."

"Emm, Pa.. Aku udah makan bareng temen-temen."

"Yaudah.. Oh iya, kenapa gak minta jemput Haruto?"

"Iya Sei, lagipula hari minggu pasti free." timpal sang mama.

Gadis itu diam tidak tahu menjawab apa.

"Seiya, Haruto.. Kalian masing-masing sudah menerima takdir kalau kalian ini adik kakak kan?"

"Hmm." Seiya mengangguk, setelah itu ia memilih pergi dan mengurung diri di kamar.

Ia benci pada dirinya sendiri, mengetahui sesuatu dan berusaha menyembunyikan di depan keluarganya adalah hal yang sangat berat, Seiya menjaga kebahagiaan sementara keluarganya terkhusus sang Papa, biarkan waktu yang mengungkapkan semuanya dan Seiya yang menanggung sakitnya.

•••

Mata kuliah siang ini baru selesai, seperti biasanya mereka akan mengerjakan tugas bersama, namun karena bosan di perpustakaan akhirnya Chaery mengajak teman-temannya di halaman belakang kampus yang terdapat taman luas, sebenarnya tempat ini ramai oleh anak-anak Agribisnis dan Teknologi Pertanian lainnya yang sering menggunakan tempat ini untuk penelitian.

Chaery agak menyesal, bukan karena ramai oleh jurusan itu, tapi jarak tempat duduk yang tersedia di outdoor ini mengarah langsung ke lapangan yang sedang digunakan main futsal, salah satunya Ares.

Tentu saja Ares yang menjadi bahan penyesalannya lantaran gadis itu tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari Ares yang wajahnya dipenuhi keringat, rambutnya basah lalu sekarang sedang mengatur napasnya sambil membungkukkan badannya dengan lutut yang menjadi tumpuannya.

Chae, sadar! Ares orang baru di hidup lo!

Batinnya berteriak, tapi atensinya tak bisa lepas begitu saja jika Seiya tidak menarik tangannya agar duduk di sampingnya.

"Jo, katanya lo di tugasin buat video dokumenter?" tanya Yesha.

"Hah? Tugas matkul apa?" Seiya langsung panik, pasalnya gadis itu tidak pernah melewatkan tugasnya sekalipun, dia paling rajin ke perpustakaan selepas mata kuliah.

"Bukan, ini buat komunitas perfilman sekalian profil kampus." jelas Joana.

"Ah, begitu rupanya." jawab Seiya.

Joana melangkah mendekati lapangan dengan kamera yang dibawanya, di saat yang sama ia berpapasan dengan Jevin, cowok itu menenteng tasnya di sebelah bahu lalu pakaiannya telah berganti dengan kaos futsal bertuliskan Archipelago, nama kampusnya.

Refleks keduanya berhenti dan berhadapan satu sama lain, ini kali pertamanya mereka awkward moment, pertemuan pertama kalinya sejak SMA padahal tidak canggung ini. Lalu ini pertama kalinya juga pagi tadi Jevin tidak menjemputnya.

"A- mm- hai?"

Joana merutuki dirinya sendiri, seharusnya ia menunggu Jevin duluan yang menyapa atau reaksi cowok itu ketika dipertemukan kembali, atau ia malu seperti sekarang karena Jevin tidak mengabaikannya dan memilih melanjutkan langkahnya menuju lapangan.

"Terserah lo mau gimana!" rutuknya yang hanya di dengar dirinya sendiri. Joana menghela napasnya pelan mengontrol dirinya emosinya agar stabil karena ia harus berhadapan dengan orang-orang.

"Paji!" panggilnya sambil melangkah menuju lapangan, kebetulan mereka sedang break sejenak, terlihat sedang mengatur strategi permainan.

"Hai, Jo!" balasnya.

"Gue izin dokumentasiin kalian ya buat profil kampus juga soalnya."

"Boleh, screen time gue banyakin kalau bisa hehe."

Joana terkekeh pelan dan mengangguk mengiyakan permintaan Paji. Ia mulai menyiapkan kameranya lalu berdiri di tepi lapangan, sparring futsal dimulai kembali, kali ini dengan Jevin yang bergabung melengkapi anggota.

Dua puluh menit berlalu, Joana sudah selesai mengambil video mereka yang duduk di tepi lapangan dekat tas mereka, sayang sekali di sini tak ada kursi yang tersedia, untungnya jalanan di sini menggunakan paving block.

Paji menghentikan permainan karena Jevin tidak sengaja bertabrakan dengannya yang menyebabkan Jevin terjatuh.

"Sorry!" Paji mengulurkan tangannya membantu Jevin berdiri.

"Lanjut lanjut." kata cowok itu menginterupsi yang lainnya sambil menerima uluran tangan Paji.

"Vin, lo obatin dulu sana lututnya mumpung ada Joan." seru Paji.

"Oke."

Tentu saja Joana tidak mendengar mendengar percakapan mereka, Jevin memang menghampirinya dan duduk di sebelahnya lalu meluruskan kakinya. Saat terjatuh, Joana melihat dengan jelas, gadis itu khawatir namun tidak bereaksi berlebihan karena Jevin terlihat baik-baik saja apalagi teman-teman yang lainnya tetap melanjutkan permainannya walaupun darah di lututnya mengalir sampai kakinya, tapi cara jalannya biasa saja tidak terlihat kesakitan.

"Vin?" panggilnya.

Pada akhirnya Joana menyerah mengesampingkan egonya, ia tidak mau hubungan pertemanan mereka tidak baik-baik saja.

"Lutut lo gu-"

"Air." Joana yang mengerti maksud Jevin langsung mengambil tas cowok itu yang ada sebotol air mineral di dalamnya bahkan membukakan tutup botol untuk Jevin.

"Kenapa gue rasa lo ngehindar dari gue?" tanya Joana tiba-tiba. Dilihatnya Jevin sudah selesai meneguk habis airnya lalu menengok ke samping melihat Joana.

"Gue kasih waktu Jeno sama lo biar lancar pdktnya."

"Gue sama Jeno gak pdkt kita cuma temenan, like us."

"Tapi lo suka?"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Vin jangan kepo!"

Jevin tertawa kecil mendengar jawaban itu, "Oke kalau gitu gue gak jadi marah."

"Hah? Kok?"

"Kalau lo sama Jeno biarin gue menjauh dan marah seminggu aja buat lupain lo!"

Joana rasanya ingin terbang, ia menahan senyumnya agar tidak terlihat kepedean, memalingkan wajah adalah cara yang tepat untuk saat ini.

"Lo sama kayak mereka," Jevin melanjutkan lagi perkataannya, kali ini ia menunjuk teman-temannya yang masih memperebutkan bola, "Temen gue yang berharga, jadi kalau lo beneran sama Jeno mungkin gue kehilangan salah satu teman apalagi gue terbiasa bareng lo dari SMA, begitupun lo. Karena gue gak mau jadi penghalang hubungan kalian lebih baik gue menjauh setidaknya seminggu itu buat penyesuaian."

Joana langsung terjatuh lagi dengan kelanjutan ucapan Jevin, ia kira karena Jevin cemburu. Oh tidak.. Joana benar-benar malu dengan dirinya sendiri yang menyimpan rasa pada Jevin.

"Ekhmm.. Sekarang udah tahu kan gue sama Jeno gaada apa-apa. Jadi gak mau tau hari ini lo anterin gue pulang."

"Sama Jeno gak di anter jemput ya?" candanya yang membuat Joana memukul lengan Jevin.

"Sekali lagi bahas itu gue minta Sei buat patahin tangan lo!"

"Ampun ratu." ejeknya, meskipun begitu ia senang hubungannya dengan Jevin kembali seperti semula.

"Obatin kaki lo dulu yuk di klinik kampus."

•••

STARLIT REVERIE | 00 LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang