07; Tawa Penutup Luka

1.3K 112 4
                                    

~~~

Saat ini Riky tengah berada di kamar Jean, dokter mengizinkannya keluar dari ruangan untuk menghirup udara bebas, tentunya dengan pengawasan dari saudaranya, juga kursi roda yang membawanya hingga sampai kesini. Kakkinya masih terlalu lemas untuk dibawa berjalan. Daripada keluar mencari udara segar, Riky lebih memilih mengunjungi Abangnya yang masih belum bisa turun dari ranjangnya.

"Alsa gimana ya?" Cakap Jega tiba-tiba membuka perbincangan ditengah kesunyian.

"Tenang aja, Papa gak bakal nyakitin dia, secara lo tau sendiri gimana sayangnya Papa sama dia," ungkap Joe menenangkan, terselip sedikit rasa cemburu di hatinya.

"Iya juga sih, jadi iri."

Semua terdiam gara-gara celetukan Jega. Benar, mereka iri, mereka benar-benar merasa sangat iri kepada Alsa. Terkadang ketika melihat gadis itu bahagia tertawa terbahak bahak bersama kedua orang tuanya, rasanya sesak sekali. Mengingat bagaimana Papa memperlakukannya begitu baik, selalu tersenyum didepannya, melimpahkannya dengan segala kasih sayang serta cinta membuatnya tak kekurangan setitik pun kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sedangkan mereka? Hanya ada teriakan, bentakan, cercaan, makian, dan segala kata kata pedas, mereka tumbuh tanpa kasih sayang orang tua, mereka hanya bisa mengandalkan satu sama lain untuk saling berbagi kasih sayang serta cinta. Jadi, sangat jelas bukan mengapa mereka merasa iri pada Alsa? Tapi bagaimanapun juga mereka tak bisa membenci Alsa, karena perlu diingat, dia tidak tahu apa-apa, sama seperti mereka yang kala itu masih kecil dan tak tahu apa apa.

"Udah mellownya, gausah dipikirin." Tegur Haksa menyudahi acara mellow adik-adiknya, ia tahu apa yang sedang ada di pikiran mereka.

"Oh iya Bang, kata dokter gimana? Abang belum jelasin apa-apa loh, katanya nanti." Celetuk Jean mengingat Abang sulungnya itu belum menjelaskan apa apa kepada mereka.

Sementara Haksa terdiam, pikirannya melayang pada beberapa saat lalu. Seorang Dokter dengan jubah putihnya dan stetoskop melingkar di lehernya keluar dari ruang UGD.

"Permisi, apakah kalian keluarga dari saudara Jean dan Riky?" tanyanya pada Haksa, Joe dan Sastra.

Ketiganya sontak mengangguk serempak, "Iya Dok, kami Abangnya, bagaimana keadaan Adik kami?" Resah Joe yang sudah tak tahan ingin bertemu kedua Adiknya, khawatir? Tentu saja.

"Bisa tolong ikut ke ruangan saya?" Ungkap sang Dokter yang di balas anggukan oleh mereka.

Namun, sebelum mereka semua melangkah Haksa mencegah Sastra yang akan ikut, "Biar Abang sama Joe aja. Tunggu yang lain dateng." Titahnya yang dibalas anggukan dari Sastra. Jega dan Senja juga belum tiba, maka dari itu Sastra harus menunggu disini.

"Jadi seperti ini, pasien Riky mengalami benturan yang lumayan keras pada kepalanya yang ternyata mengenai saraf matanya, hal tersebut mengakibatkan gangguan pada penglihatannya. Bisa dikatakan, saudara Riky mengalami kebutaan." Beber sang Dokter mulai menjelaskan.

Tak hanya Haksa, bahkan Joe praktis membelalakkan matanya kaget.

"A-apa dok? Buta?" Gagap keduanya tak menyangka. Jika sampai separah ini, sekeras apa Ardi menghajar Riky? Setega itukah Ardi hingga membuat anaknya sendiri buta? Benar-benar tidak punya hati.

"Iya, namun kebutaan ini tidak bersifat permanen, mungkin prosesnya membutuhkan beberapa waktu untuk mengembalikan penglihatannya. Tapi mungkin juga bisa dipersingkat asal rutin menjalani pengobatan dan jangan telat setiap kontrol."

Light Of Happiness [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang