~~~
Tepat ketika panggilan terputus, Joe berlari menuju motor kesayangannya dengan perasaan tak karuan. Seharusnya setelah kejadian itu ia lebih waspada dan tak boleh membiarkan adik-adiknya sendiri, seharusnya ia tahu hal ini akan terjadi.
Perasaan bersalah mulai merundung, Joe berfikir ini semua terjadi karena dirinya yang kurang memperhatikan adik-adiknya setelah kejadian dimana Riky bertengkar dan berujung panggilan orang tua, harusnya ia tahu kalau hal ini akan terjadi, mestinya ia lebih waspada.
"Joe! Kemana??" Teriak Nando ketika Joe tiba tiba pergi di tengah permainan.
"Ada urusan!" Balas Joe singkat.
Putra kedua Rani memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, kepanikan telah menguasainya, yang ia pikirkan kini adalah kedua Adik kecilnya, ia yakin mereka berdua ketakutan disana.
Di sepanjang jalan fikiran Joe kian berantakan memikirkan kemungkinan buruk yang akan menimpa kedua adik bungsunya. Merutuki diri hingga muak rasanya tak ada manfaatnya, Joe terus menambah kecepatan laju motornya supaya bisa sampai lebih cepat. Tak berselang lama setelah lampu merah yang di terobos olehnya tanpa rasa takut, akhirnya Joe tiba di kantor Ardi.
Kakinya melangkah membawanya masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut dengan tergesa, perasaan khawatirnya kian bertambah seiring langkah kakinya menapak menuju ke lantai di mana ruangan Ardi berada.
Cklek
Si bungsu Riky memejamkan matanya kuat kuat, mempersiapkan diri kala sabuk itu akan menyentuh tubuhnya untuk kesekian kalinya. Rasa perih hingga sakit di sekujur tubuhnya nyaris membuatnya mati rasa. Telinganya sempat mendengar derap langkah kaki seseorang yang berlari panik kearahnya hingga ia menyadari tak ada yang ia rasakan dalam beberapa detik.
Degg
Degg
Degg
Suara degup jantung terdengar begitu dekat. Perlahan si bungsu itu mencoba membuka matanya ketika tak ada rasa sakit yang diterima akibat sabetan sabuk milik Ardi. Buram, matanya benar benar tak bisa fokus, tapi ia tahu, dan ia yakin bahwa itu abangnya.
"MINGGIR!! ANAK INI BELUM SELESAI DENGAN HUKUMANNYA!" Murka Ardi belum juga puas menyiksa putra bungsunya.
Joe tak bergeming, ia terus berada di atas Riky, menatap lekat wajah sang adik yang kini sudah penuh dengan lebam dan darah. Netranya terfokus pada kedua mata Riky yang bengkak.
"B-bang, s-sakitt." Lirihnya lemah. Riky kembali memejamkan matanya sebab terasa amat ngilu jika di buka. Mungkin itu akibat benturan dari Ardi yang tadi dengan sengaja membantingnya lalu tanpa diduga bagian matanya justru terbentur ujung meja hingga bengkak.
Joe beranjak dari posisinya lalu menghampiri Ardi dengan emosi menggebu. "APA YANG PAPA LAKUIN?! HAHH!?? APA YANG UDAH PAPA LAKUIN, PA?!" Seru Joe tak kalah emosi.
Joe mencengkram kuat kerah Ardi, mencoba menyadarkan ayahnya yang kini benar-benar sudah kelewatan. Tersirat gurat emosi di mata elangnya yang tampak mulai berembun. Kecewa, kesal, emosi, lelah, semua seolah terpancar dari sorot mata remaja itu, mencoba menggambarkan betapa lelahnya ia menghadapi sifat bajingan sang ayah.
"JANGAN KURANG AJAR KAMU JOE! DIA EMANG PANTES DAPETIN ITU!! ANAK GAK GUNA! BISANYA NYUSAHIN!" Semburnya tak kalah kencang. Ardi menepis kasar tangan Joe dari kerah bajunya.
"Pa! Dia anak papa! Kami anak papa! Tolong jangan kayak gini!" Parau Joe terdengar seakan benar-benar sudah muak, ia sungguh lelah dengan sikap kedua orang tuanya, ia lelah dengan perubahan ini, Joe ingin papanya yang dulu! Joe ingin mamanya yang dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Of Happiness [✓]
Novela JuvenilTentang mereka, tujuh luka yang berusaha mencari cahaya kebahagiaannya di tengah gelapnya harapan. Hadirnya orang tua mereka bukan lagi untuk mencium kening atau sekedar mengucapkan segala kata-kata kasih sayang serta penyemangatnya. Keduanya hadir...