30; Berkunjung

628 50 8
                                    


~~~

Beberapa hari berlalu. Kondisi fisik Haksa kian membaik, setiap harinya ia terus berusaha agar cepat pulih. Meminum obat dengan teratur, istirahat yang cukup, makan tidak pernah telat. Tentunya itu semua ia lakukan demi Adiknya. Hari demi hari ia lalui sendirian, pikirannya terus membawanya untuk mengingat Adik-adiknya. Ia harus sembuh dan bertahan, setidaknya demi keluarganya yang tersisa.

Hari ini Haksa sudah diperbolehkan pulang. Tujuan utamanya bukan rumah. Tak ada yang bisa ia temukan disana, bangunan itu hanya akan membuatnya teringat akan kenangan menyakitkan, seakan kenangan manis yang telah lama terkumpul disana tertimbun oleh banyaknya kejadian mengenaskan yang menimpa keluarganya.

"Assalamu'alaikum," sapa Haksa pelan. Terlihat tangan kanannya membawa sebuah bunga. Di letakkannya bunga tersebut dengan apik di atas gundukan tanah makam baru tepat di depan batu nisan bertuliskan nama seseorang.

"Maaf baru bisa dateng, maaf juga kemaren gak bisa nganterin ke tempat terakhir kamu." Tutur Haksa menatap nanar sebuah bingkai foto yang bersandar disana.

"Yang tenang disana ya? Abang titip Senja sama Jean." Lanjutnya mengusap wajah yang tersenyum cerah di dalam sebuah bingkai foto.

Haksa menundukkan kepalanya menahan air mata yang hendak keluar. Tangannya terkepal erat menggenggam tanah. Matanya senantiasa terpejam, dengan suara bergetar ia berkata, "Harusnya, Abang yang mati. Harusnya Jega gausah masuk ke rumah. Harusnya Abang lebih hati-hati. Harusnya Jega ikut Riky ke rumah sakit." Haksa menarik nafasnya dalam dalam seraya membuka matanya yang terpejam, "maaf." Paraunya yang pada akhirnya menitikkan air mata.

Entah kenapa akhir akhir ini air mata senantiasa datang berkunjung, muncul dan menitik dari kelopak mata Haksa dan keluar tanpa bisa ia kontrol. Sementara senyuman yang biasanya menggambarkan kebahagiaan serta kesenangan justru hilang entah kemana. Haksa seakan lupa dengan rasa bahagia, tawa serta senyum teduhnya kini hilang. Alasannya tertawa, alasannya bertahan, alasannya tersenyum, alasannya bahagia, satu persatu dari mereka pergi meninggalkannya.

Haksa mengusap air matanya lalu beranjak. "Abang tau kalian gak akan biarin Abang minta maaf, tapi Abang tetep mau minta maaf."

'Kalian' yang dimaksud Haksa adalah mereka, adik adiknya yang telah lebih dulu meninggal, pasalnya makam mereka berjejer berdampingan.

"Maaf belum bisa jadi Abang yang baik."

Hatinya kembali berdenyut nyeri, mengingat kematian setiap Adiknya yang tak wajar. Kosong, hampa, itulah yang Haksa rasakan. Ingin menyerah namun ia masih memiliki dua tanggung jawab lainnya, ia berjanji akan menjaga dua Adiknya dengan seluruh jiwa raganya.

Selang beberapa waktu Haksa juga telah menaburkan bunga pada makam dua Adiknya tak lain dan tak bukan adalah Senja dan Jean. Pria itu berpamitan untuk menuju ke tujuan selanjutnya.

"Abang pamit, Assalamualaikum.."

Sunyi, tentu saja. Tak ada sahutan, hanya terdengar semilir angin yang berhembus menerpa dedaunan kering yang jatuh dari pohonnya. Menambah kesan sunyi yang membuat Haksa makin merasa sendiri.

Haksa menghela nafasnya lalu berbalik untuk kembali ke mobilnya.

~~~

"Tahanan 504, ada keluarga anda yang berkunjung."

Laki-laki yang terkenal dengan wajah dan tubuh lesu itu mendadak berdiri tegap. Senyum yang teramat tipis tercetak di wajah kusutnya. Binar bahagia tersirat jelas pada iris hitam legamnya. Namun pria itu hanya mengangguk, enggan mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya menurut mengikuti kemana sipir membawanya.

Light Of Happiness [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang