~~~"BANG HAKSAA!!"
Pria bermata elang itu terbangun dengan peluh membasahi wajah serta sekujur tubuhnya. Nafasnya berhembus tak beraturan, netranya bergulir panik kesana kemari, kepanikan menguasai dirinya.
Tangan kekar itu terangkat guna memijat pelipisnya yang terasa begitu pening, banyak pertanyaan berkecamuk memenuhi fikirannya. Apa itu? Mengapa mimpi itu terasa begitu nyata? Oh tidak, yang paling buruk, apakah itu benar-benar hanya sekedar mimpi?
Setelah beberapa menit berlalu, Joe baru menyadari bahwa dirinya berada di dalam ruangan bernuansa putih dengan jeruji besi yang terpasang pada sebuah jendela kaca yang terletak lumayan tinggi diatas ranjang yang saat ini ditempati. Rasanya tak asing, berulang kali dirinya terbangun disini, tapi anehnya setiap kali terbangun ia tak ingat apa-apa, seolah semuanya terjadi dan terulang berkali-kali tanpa ia sadari.
"Joe?" Panggil seseorang begitu hati-hati memperhatikan setiap pergerakan Joe.
Sementara itu, Joe justru mencengkeram helaian rambut dikepalanya dengan kuat merasa frustasi karena mencoba berfikir terlalu keras. Kepalanya menunduk sesekali bibir tipisnya mengeluarkan rintihan kecil. Tak lama tubuh lemasnya ia paksa untuk bangun lantas mencoba mencabut paksa jarum infus yang terpasang di tangannya dengan panik.
"Joe!"
Pria yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik Joe dengan penuh kehati-hatian kini berlari kalang kabut menahan tangan Joe sebelum empunya berhasil melepaskan infusnya. Dengan cepat ia berteriak memanggil suster maupun dokter yang dapat membantunya menenangkan sang sahabat.
Joe masih memberontak, genangan air pada pelupuknya kini terjun bebas membasahi pipi tirusnya yang begitu pucat.
"Lepas! Gue mau ketemu bang Haksa! Gue mau ketemu adek-adek gue!!" Teriaknya parau mencoba melepaskan diri.
"Joe! Mereka udah meninggal dua bulan yang lalu! Gue mohon... jangan gini, Joe."
Mata elang itu mengalihkan atensinya kearah pria yang kini menahan tubuhnya, "Nando?"
Nando mengangguk seraya mengarahkan Joe untuk kembali duduk dengan tenang diatas ranjangnya.
"Ndo, lo tau dimana Bang Haksa? Tolong panggilin, bilang gue mau ketemu," kata Joe dengan wajah polos penuh harap. Mimik wajahnya seakan memohon kepada Nando agar membawakan saudaranya di hadapannya.
Sementara Nando menundukkan kepalanya dalam ketika Joe kembali mengungkit nama Haksa. Sudah dua bulan lamanya kejadian naas tersebut mampu membuat Joe sang ketua sebuah perkumpulan yang dikenal tangguh kini begitu terpuruk. Terkurung didalam jeruji rumah sakit jiwa sekaligus harus menjalani pengobatan karena kesehatannya yang kian menurun.
Joe terus terbangun dengan meneriakkan nama saudaranya. Tak ada tidur tenang, seolah kejadian tersebut terus terulang dalam alam bawah sadarnya hingga mampu membuatnya begitu frustasi. Penyesalan yang begitu mendalam membuatnya kerap kali berandai-andai jikalau dirinya bisa mengulang waktu kembali dan mencegah semuanya. Ia terus beranggapan bahwa semua yang telah ia alami hanya mimpi belaka. Kondisinya semakin memburuk kala Joe tak mau makan sesuap nasi pun. Hari-harinya diisi dengan melamun, menangis, merenung, lalu memberontak dan meraung ketika halusinasi tentang saudaranya kerap datang menghantuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Of Happiness [✓]
Teen FictionTentang mereka, tujuh luka yang berusaha mencari cahaya kebahagiaannya di tengah gelapnya harapan. Hadirnya orang tua mereka bukan lagi untuk mencium kening atau sekedar mengucapkan segala kata-kata kasih sayang serta penyemangatnya. Keduanya hadir...