10; Sebuah Rahasia

1K 104 4
                                    

~~~

"Hooaaamm."

Sastra menguap lebar, matanya merem melek mencoba mengumpulkan nyawa. Sastra terdiam selama beberapa menit untuk mengembalikan nyawanya, biasa nge-lag dulu. Tak lama netranya teralih kearah jam dinding yang berada di dinding paling belakang. Pukul 01.30 dini hari.

"Njir, masih malem." Gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Sastra mengedarkan pandangannya sembari ngebatin, masih pada tidur, yaiyalah masih jam setengah dua pagi. Tapi tunggu, ada yang aneh, netranya berhenti pada satu ranjang yang kosong di depannya, itu ranjang Senja, kemana pemiliknya?

Ada rasa khawatir ketika mengingat cerita Jega beberapa saat lalu, ia tak menyangka Papanya bisa sejahat, sekejam, sesadis, dan setega itu kepada anaknya sendiri. Tapi namanya juga Sastra, yang penting ngumpulin nyawa dulu dia mah.

Sastra mengangkat bahunya acuh, lalu kembali melanjutkan rutinitas nge-bug nya. Paling juga lagi mandi bocahnya, kan tadi pas pulang dia langsung tidur, tapi serem juga sih kalo mandi jam segini.

Pria itu beranjak dari ranjangnya dengan rambut berantakan persis singa, ia berniat untuk membuat susu hangat supaya bisa kembali terlelap.

Sastra berjalan dengan memperhatikan kanan kiri, dimana ada ranjang-ranjang saudaranya. Ia juga sempat menoleh untuk melihat ranjang Jean dan Riky. Kekehan pelan lolos dari buah bibirnya ketika mendapati Riky yang tidurnya ngejengkang, dan Jean yang tidur dengan mulut menganga lebar, Sastra berbalik mendekat ke arah ranjang Jean hendak menutup mulut Jean.

Sekelibat ingatan saat vonis gagal ginjal Jean entah kenapa muncul membuat Sastra berhenti sejenak guna menatap wajah tenang sang Adik yang kini tengah tertidur pulas. Laki-laki itu menundukkan tubuhnya, mengusap lembut pucuk kepala Jean.

"Semangat ya? Adek Abang kan kuat." Tuturnya lembut menyapa telinga Jean, membuat empunya mengerang pelan.

Sastra kembali menjauhkan tubuhnya dari ranjang Jean, lalu mengulas senyum tipis, prihatin dengan keadaan Adik kecilnya ini. Netranya kembali teralih pada ranjang Riky, dimana tepat di atas meja belajarnya terdapat tongkat yang mulai kini akan menjadi penopang Riky untuk membantunya berjalan dan memahami keadaan sekitar.

"Bocil, banyak tingkah banget kalo tidur." Gumamnya membenarkan posisi Riky, lalu menaikkan letak selimutnya.

"Cape ya? Lihatnya jadi gelap mulu." Celetuk Sastra menundukkan badannya, mengusak lembut surai Adik bungsunya.

"Abang selalu berdo'a buat Riky, supaya cepet sembuh dan bisa lihat lagi. Semoga Tuhan kabulin do'a kita ya?" Bisik Sastra pelan pada Riky yang masih berada di alam bawah sadarnya.

Selang beberapa menit pada akhienya, Sastra beranjak dari posisinya, ia kembali melanjutkan perjalanannya, melewati beberapa ranjang dengan pemiliknya yang tidur beraneka ragam. Seperti Joe yang tidurnya menghadap terbalik dengan kaki yang ia sanggah pada tembok. Atau Jega yang tidur dengan tangan serta kakinya yang menggantung karena posisinya miring dengan selimut yang sudah terjun ke lantai. Dan Haksa yang tidurnya paling anteng pake selimut bener bener rapih tapi ngoroknya menggelegar menggema didalam kamar tersebut.

Sastra menggelengkan kepalanya pelan, tak habis fikir dengan keberagaman saudara saudaranya ini kalau lagi tidur. Padahal dia mah paling parah, sering ngelindur sampe ngeganggu yang lain, cuma gak sadar diri aja.

Baru saja hendak melewati kamar mandi, Sastra dibuat kaget bukan main dengan suara isak tangis seseorang yang terdengar begitu samar menyapa lembut indra pendengarannya.

"Anjirr, kunti? Tapi suaranya cowo. Pcong? Genderuwo? Apa apa ya?" monolognya menerka nerka mengarah pada hal-hal mistis.

"Kok ngeri sih, balik aja kali ya?" Saat hendak berbalik, Sastra langsung ingat, salah satu Adiknya tidak ada di ranjangnya. Berarti itu...

Light Of Happiness [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang