11; Teror

1K 90 15
                                    


~~~

"Jawab dulu pertanyaan gue," Jega menjeda sesaat kalimatnya, "kenapa lo gak ngomong kalo lo udah tau dan inget semuanya, Bang?"

Pria yang dua tahun lebih tua didepan Jega itu nampak menundukkan kepalanya, sorotnya mendadak sendu. Ia langsung paham kemana arah pembicaraan Jega.

"Bang? Jawab gue! Itu semua gak bener kan?" Jega sedikit mendorong bahu Abangnya lantaran kesal pertanyaannya tak segera dijawab. Matanya bahkan kembali berembun mengingat fakta yang begitu membuatnya sakit.

"Maaf," lirih Haksa.

Tubuh Jega mundur perlahan, matanya mulai berkaca-kaca, tangannya bergerak memijat pelipisnya menahan serangan pening yang tiba-tiba muncul.

"Bilang ke gue kalo semua itu gak bener! Bilang ke gue kalo yang di bilang Papa itu gak bener Bang!" Jega mencengkram kaos yang dikenakan Haksa dengan kedua tangannya, berharap apa yang baru ia dengar hanyalah sebuah kebohongan belaka.

Haksa mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menetes membasahi pipinya, "denger Ga, Abang juga berharap itu semua gak bener, tapi—"

"Tapi apa? T-terus, gue ini siapa Bang? Bang Joe? dan Sastra? Kita— kita ini siapa Bang?" Parau Jega seraya kembali terisak pelan, cengkramannya meluruh, tubuhnya mendadak lemas tak bertenaga.

Haksa menahan tubuh Jega, mencengkram bahu yang lebih muda, "Ga, jangan ngomong gitu, Jega, Joe, dan Sastra, kalian semua Adek-adek Abang. Kita udah tumbuh sama-sama, kita udah besar sama-sama, kita udah hidup sama-sama di rumah ini." Beber Haksa.

"Tapi kenyataannya, gak semua dari kita adalah saudara kandung kan, Bang? Gue cuma orang asing disini..."

Bugh

Haksa meninju pohon tak bersalah yang berdiri kokoh di pinggir jalan.

"Kenapa? Gue cuma gak mau kita pisah! Gue cuma punya mereka! Mereka segalanya bagi gue!" Haksa meremat rambutnya kuat.

"Sekarang harus gimana? Jega udah tau, lama gak lama semuanya bakal terbongkar. Gak bisa, gue belom siap," parau Haksa.

"Enggak, apapun yang terjadi, apapun kenyataannya, mereka tetep Adek gue, gaakan ada yang bisa misahin kita!" Ujar Haksa mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Kak?"

"E-eh, Alsa," Haksa membalikkan badannya ketika merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang.

"Kakak kenapa?" tanya Alsa khawatir, dari kejauhan ia lihat Haksa sedang mondar mandir sambil megangin kepalanya di pinggir jalan.

"Oh, enggak, nggak papa. Oh iya, ada apa?"

"Ini, Alsa disuruh Kak Jega buat nyiapin surprise buat ulang tahunnya Kak Senja. Terus tadi Alsa lihat dari kejauhan ada Kakak, jadi Alsa samperin deh," jelas Alsa menunjukkan kresek yang ia tenteng, entah apa isinya.

Haksa terdiam sejenak. Ah, benar, beberapa hari lagi ulang tahun Senja, bagaimana bisa dirinya lupa?

"Kak?"

"Eh, iya sini Kakak bantuin, mau ke rumah kan?"

"He'em, kata Kak Jega, Kak Senja udah dibawa pergi sama Kak Jean, jadi kita bisa leluasa diskusiin di rumah." jelas Alsa.

"Oww, oke, kalo gitu kita kerumah sekarang."

~~~

"Bang, ini apaan?" tanya Riky mengetok ngetokkan tongkatnya ke arah benda yang menghalangi jalannya.

"Pot itu Rik, kurang nganan," tuntun Sastra di belakangnya, memperhatikan Riky yang mencoba mengenali lingkungan sekitar dengan tongkatnya.

Light Of Happiness [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang