31; Kembali

844 68 14
                                    


~~~

Cahaya matahari datang memancarkan suryanya, menyelimuti bumi dengan hangatnya setelah dinginnya malam menguasai. Kicauan burung berbunyi saling menyahut seolah sudah biasa menjadi alarm indah sang alam khas dipagi hari. Angin berhembus lembut meniup sebuah tirai. Tirai cokelat yang awalnya tertutup rapih itu kini perlahan bergeser seiring hembusan angin yang memaksa masuk kedalam ruangan tersebut. Belum sempat terbuka sempurna, seorang pria dengan kantung mata bak panda meraih jendela kaca yang terbuka lalu menutupnya dengan segera.

Srett

Tirai kembali ditutup dengan apik. Pria itu membalikkan tubuhnya, dalam hitungan detik tubuh kurus itu terduduk bersandar pada dinding. Tangannya memeluk lutut seraya menenggelamkan kepalanya. Setitik air mata kembali jatuh entah untuk keberapa kalinya. Mata sayu itu terpejam dengan bibir bergetar, isak tangis lolos dari bibir tipisnya, seketika suara isakannya memenuhi ruangan panjang nan lebar tersebut.

Terlalu sakit, melihat enam ranjang disana sudah terlalu lama tertata rapih dan apik. Hari demi hari berlalu hingga debu sedikit menumpuk diatas perabotan disetiap masing masing ranjang, udara didalam ruangan tersebut terasa begitu lembab, hawa dingin menyeruak seolah menggambarkan dengan jelas kesendiriannya. Haksa Mahendra Arvendri, pria itu rindu keluarganya. Rindu kebisingan dan kegaduhan yang timbul dari masalah sepele mereka. Rindu ketiga Adik bungsunya yang paling jago merusuh rumah. Rindu bisingnya motor Joe yang tengah dipanaskan. Rindu bau masakan Jega yang menyeruak ketika pagi datang. Ia rindu keenam Adiknya.

"Meaooww."

Haksa mengangkat kepalanya mendapati kucing berwarna putih bersih tengah mengusap usapkan kepalanya pada kaki Haksa seolah tau apa yang tengah Haksa rasakan. Haksa mengusak bulu bulu halus si kucing lalu menyadari bahwa perut si putih ini sudah semakin besar. Ah ya, kucing itu tengah hamil. Haksa jadi ingat ekspresi bahagia Jean ketika mengetahui kucing kesayangannya hamil.

"Dek, kayanya habis ini Oci lahiran deh. Abang gak tau cara ngurusnya." Paraunya menatap nanar kucing berbulu putih lebat itu.

"Hahahaha, tolonggg geli geliiii, aaaaaa!"

Haksa menegakkan tubuhnya ketika telinganya menangkap suara Jean yang tengah tertawa kegelian. Matanya berbinar kala netra hitam legamnya melihat Jean serta dua Adiknya yang lain, Senja dan Riky, tengah bermain di ranjang Jean, ketiganya tertawa begitu kencang.

"Bagi duit! Kata Bang Haksa bagi tiga!!"

Cklekk

"Oe bocah! Makan anjeerrr, laper udahan gue ini."

Joe muncul dari balik pintu membuat Haksa semakin antusias. Pria itu mulai berdiri hendak menghampiri Joe namun pergerakannya terhenti kala Sastra masuk dengan terburu dan berlari kearah ranjangnya dengan panik.

"Cas cas cas! Batre gue sekaraaatttt- etdahh. BANG HAKSA DIMANA CAS NYA??"

"LACI MEJA BELAJAR LO SA, CARI DULU YANG BENER."

Haksa total terdiam ditempat. Ah ya, kejadian ini. Beberapa waktu lalu ketika mereka masih lengkap dan semuanya masih normal.

"TIGA DETIK LAGI, TELAT GABOLEH MARAH AYAMNYA MASUK PERUT GUE!"

Suara teriakan Jega menggema membuat mereka yang masih berada di dalam kamar panik dan segera turun. Haksa mengikuti mereka, ia berdiri termenung diatas seraya menatap meja makan yang ketujuh kursinya penuh. Tawa kencang serta senyum teduh mereka bertujuh tampak begitu polos, tak tau jika di depan sana ada sebuah lubang hitam yang dapat dengan sekeejap merenggut tawa itu.

Haksa turun dari lantai dua, mendudukkan dirinya tepat dimana Haksa penuh tawa yang ia lihat tengah duduk. Seulas senyum baru saja tercetak pada bibir tipisnya melihat pemandangan yang sangat ia rindukan, namun secara tiba-tiba tawa serta suara dentingan peralatan makan memudar, enam kursi di masing masing sisi meja makan mendadak kosong. Meja makan juga bersih tanpa adanya satupun makanan yang tersaji.

Light Of Happiness [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang