04; Jejak Luka

1.5K 131 6
                                    

~~~

"Puas kamu malu-maluin saya?! Puas?!" Cerca seorang wanita paruh baya berwajah cantik dengan pakaian serta tas berlabel merk ternama yang tentunya mahal, membuat penampilannya terkesan sangat mewah. Jemari lentiknya mendarat indah pada pipi putra bungsunya, timbulkan bunyi menggema di lorong sepi belakang sekolahnya.

Riky meringis ketika luka di bibirnya kembali mengeluarkan darah.

"Maaf," lirihnya hampir tak dapat di dengar, menundukkan kepalanya merasa bersalah.

Sementara wanita itu mendecih kesal, raut marah masih setia menghiasi wajah cantiknya.

"Maaf? Gampang banget ngomong maaf. Harga diri saya jatuh! Punya mimpi apa saya bisa punya anak kaya kamu."

Sakit? jangan ditanya, rasanya dadanya kini seperti di tusuk ribuan paku berkarat. Segores luka kembali dibuat, oleh mamanya sendiri. Riky memejamkan matanya mencoba menguatkan hatinya, 'gak papa Rik, lo udah biasa diginiin. Mama marah juga karena ulah lo'

Wanita itu mengibaskan rambutnya kebelakang, mendekat dan mensejajarkan kepalanya dengan wajah Riky yang menunduk masih dirundung rasa bersalah. Telunjuknya bersentuhan dengan dahi Riky dan mendorongnya beberapa kali, "bodoh!"

"Lagian ngapain sih berantem? Mau sok jadi pahlawan kamu? Atau emang mau nerusin jejak Sastra?! Iya?! Bosen sekolah kamu!?" Sentaknya dengan nada tinggi tak habis fikir dengan kerja otak anaknya. Sungguh Rani benar-benar dibuat pening perihal beberapa kali harus bolak balik ke sekolah untuk mengurus Riky yang kerap kali tertangkap tawuran.

Namun hati si bungsu menggerutu tak terima saudaranya yang lain ikut terseret. "Cukup Ma, jangan bawa-bawa bang Sastra! Dia gak ada sangkut pautnya sama sekali–"

Plaakk

Asal kalian tahu, tamparan Rani gak main-main. Nyerinya sampe hati. Riky diam seribu bahasa merasakan perih yang menjalar di wajahnya. Kepalanya bahkan kembali tertoleh ketika tangan lembut Rani kembali mendarat dengan keras di pipinya untuk kedua kalinya.

"Sudah berani menjawab kamu?! Didikan siapa? Didikan siapa hah?! Haksa!??" Sungut Rani begitu emosi.

Sepertinya mama yang sekarang tak bisa lagi menurunkan nada bicaranya ketika berbicara kepada mereka. Tak seperti mama yang dulu, mama yang mereka kenal.

Riky memegang pipinya yang ia yakini kini sudah sangat merah karena tamparan Rani.

"Maaf ma, tapi kali ini Riky gak akan diem aja, mereka gak ada sangkut pautnya sama Riky, ini semua murni kesalahan Riky. Kalau mama mau marah, marahin Riky aja Ma! Jangan yang lain." Pungkas Riky. Ia tidak bisa diam saja ketika kesalahannya justru merambat ke saudara-saudaranya.

"Dasar anak gak tahu diuntung! Bisanya malu-maluin doang! Nyesel saya punya anak kayak kalian." Cemooh nya kemudian pergi, meninggalkan luka pedih, lagi dan lagi, memberikan satu sayatan lebar pada hati Riky. Lagi lagi Rani kembali membuka luka lama yang bahkan belum sembuh. Setetes bulir air jatuh membasahi pipi Riky namun langsung diusap dengan kasar oleh empunya.

Riky mengepalkan tangannya, sorotnya menatap sendu kearah bawah, menunduk dalam dengan perasaan hancur. "Riky cuma butuh kalian, Riky butuh dampingan kalian. Bukan kekerasan ataupun makian!"

~~~

"Sshhhh, pelan-pelan bang ih sakit!" Gerutu Riky sembari meringis kala lukanya di obati dengan sadis oleh abangnya.

"Ck, iya iya tau, ini juga udah pelan-pelan."

Kini Jean sedang berada di UKS untuk mengobati luka Riky. Tadi pas Riky balik ke kelas Jean kaget bukan main karena lukanya berdarah lagi. Sebenernya gak kaget kaget amat sih, udah tau juga kalo ujung ujungnya bakal kaya gitu, secara dia gak sengaja lihat mama keluar dari ruang BK.

Light Of Happiness [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang