29; Luapan Emosi

673 53 8
                                    

AYY AYYY!!!

AKU BALIKKKKKK, WUHUUUUU. Setelah sekian lama otak mandet det det akhirnya aku bisa nerusin ni cerita. Belum sampe end sih, tapi aku janji bakal tamatin ni cerita! Insyaallah, doa in aja, hehe.

Anyway sbnernya aku unpub book ni karena selain otak mandet.....TEMENKU TAU JUDUL DAN NAMA AKUNKU NIIII😭😭 Sbnernya aku malu, tapi dipikir pikir lagi ngapain juga malu.

Yauda gitu aja cuss lanjutttt, kalau lupa boleh dibaca ulang karena beberapa udah aku revisi.

~~~

Lift berdenting, pintu terbuka, terlihat seorang pria dengan banyaknya luka lebam terlihat di tubuh dan wajahnya serta tatapan tajam yang terus terpancar membuat siapa saja yang bertemu tatap dengannya bergidik takut, pria itu bergegas keluar dari lift bangunan rumah sakit yang saat ini ia kunjungi. Beberapa kali celingukan mencari nomor kamar yang dituju. Hingga akhirnya manik matanya berbinar kala berhasil menemukan kamar yang dituju.

"Itu 23!" Serunya.

Laki-laki itu segera berlari menuju kamar tersebut, diraihlah gagang pintu tersebut, namun suatu perkataan yang berasal dari dalam berhasil membuatnya terdiam di tempat.

"Kenapa saya gak mati dok?"

Pria yang masih setia di depan pintu kamar itu praktis membisu, tangannya yang sudah menggenggam gagang pintu mendadak turun. Ia bersembunyi di sebelah pintu sambil mengintip kedalam.

"Saya....gak bisa hidup lagi."

Lelaki di dalam sana terlihat begitu berantakan, kantung mata yang menghitam, tubuh kurusnya, serta perban pada kepalanya.

"Apa yang terjadi selama gue gaada?" Gumamnya bertanya tanya.

Memilih mundur, pada akhirnya pria itu berbalik untuk kembali, sepertinya bukan saatnya ia muncul sekarang. Banyak yang tak ia ketahui, banyak yang harus ia cari tau lebih dahulu sebelum kembali untuk bertemu mereka. Yang terpenting sekarang ia sudah tau kondisi pria di dalam kamar tadi.

"Haksa, saya sarankan kamu bertemu terapis untuk mengobati kondisi mental kamu." Saran dokter berbicara pelan pada Haksa yang tengah melamun, raut putus asa tercetak jelas di wajah tirus pria itu.

Mendengar pernyataan dokter, Haksa jadi teringat akan Adik bungsunya, "Dok, A-Adek, Adek saya dimana dok? Riky dimana??"

Dokter menggeleng pelan, "saya akan beritahu ketika kondisimu sudah jauh lebih baik."

Mendengar jawaban tersebut, Haksa tentu menggeleng keras, "Enggak dok, saya harus tau kabar Adek saya!" Kukuh Haksa memaksa, namun sepertinya dokter tidak perduli, karena bagaimanapun juga ini demi kebaikannya sendiri.

"Istirahat dan jangan lupa minum obatnya setelah makan." Peringat sang dokter setelahnya berlalu keluar dari kamar Haksa.

"Dokter! Dokter! Adek saya--"

Cklekk

Tanpa diduga seusai dokter pergi seorang wanita paruh baya datang dengan panik.

"Haksa anak mama!!"

Wanita itu berlari memeluk erat tubuh ringkih Haksa. Tangisnya berderai dengan isakan kencang yang turut keluar dari mulutnya. Rani mengusap lembut kepala Haksa yang masih diam mematung.

"Maafin Mama, nak. Maaf...." sesalnya masih memeluk Haksa. Dia Rani, wanita yang masih memanggil dirinya dengan sebutan Mama.

Mata sembab Haksa mulai berembun, kondisinya saat ini benar benar sedang tak baik-baik saja. Anak sulung yang biasanya menjadi penenang dikala adik adiknya menangis, anak sulung yang biasanya menjadi penengah dikala adiknya bertengkar, anak sulung yang biasanya menjadi penampung tempat cerita adik adiknya, anak sulung yang biasanya tampak begitu kuat hingga menjadikan dirinya sendiri sebagai pelindung nomor satu adik adiknya, kini menumpahkan segalanya. Haksa telah mencapai titik terendahnya dimana ia benar benar sangat putus asa dan frustasi. Ia butuh seseorang untuk ia sandari, ia butuh seseorang untuk menjadi tempatnya mengadu.

Light Of Happiness [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang