~~~"Dek? Adek gak papa? apa yang dirasain? masih pusing? kepalanya sakit? mau minum? atau makan? Adek mau apa, bilang ke Abang." panik Haksa berjongkok didepan Riky yang tengah duduk bersandar dibahu Jega.
Riky tak menjawab apapun, ia hanya terdiam hingga setetes bulir air jatuh membasahi pipi putihnya, "Bang Jean," lirihnya menatap pintu ruang ICU.
Haksa mengusap lembut pucuk kepala Riky, "Jean ga bakal kenapa napa, Abangnya Riky kan kuat. Riky percaya ya, Abang Jeannya Riky gak bakal kenapa napa." ujarnya mencoba menenangkan walau dirinya sendiri pun tidak yakin dengan ucapannya, tapi semoga, Jean lebih kuat dari yang ia pikirkan.
Riky membulatkan matanya ketika menyadari sesuatu, ia menggelengkan kepalanya kencang, raut wajahnya tiba tiba berubah menjadi panik, "Bang Haksa, Bang Jega, tadi-- tadi Riky mimpi, Bang Jean gak mau pulang. Bang Jean mau ikut Bang Senja, dia gak mau pulang sama Riky, Bang." paniknya dengan mata berkaca kaca mengguncang kedua lengan Abangnya.
Haksa dan Jega sempat terdiam sesaat, jujur mereka ikut khawatir mendengar cerita dari mimpi Riky tentang Jean. Mereka jelas takut jika Jean benar benar tak mau kembali. Namun pemikiran tersebut segera ditepis oleh keduanya, mereka harus percaya, Jean masih ingin bertemu mereka, Jean masih ingin selamat.
"Ssttttt sssttt, Rik, itukan cuma mimpi, Jean pasti sembuh. Jean akan ikut kita pulang kerumah. Adek yang tenang ya?" Jega ikut menenangkan Riky dengan pelukannya, namun ia juga tak bisa berbohong jika apa yang di ceritakan Riky membuatnya kepikiran. Mereka menjadi lebih takut sekarang.
"Iky pengen ketemu Bang Jean."
Cllekkk
Riky masuk kedalam ruang ICU dengan gaun protektif pembesuk I.C.U berwarna hijau polos. Disini ia sekarang, didalam ruangan yang menurutnya sangat mengerikan, melihat saudaranya terbaring lemah tak berdaya dengan banyaknya peralatan medis yang tentu saja tak Riky ketahui apa dan bagaimana kerjanya, menempel pada tubuh Jean.
Perlahan Riky mendekati brankar sang Abang, seberusaha mungkin ia tahan air mata yang mulai berlomba ingin keluar itu, ia tidak ingin Abanngnya sedih melihat dirinya cengeng seperti ini, "Bang Jean, jangan mau diajak Bang Senja pergi ya?" Riky mulai membuka percakapan walau ia tahu Abangnya itu tak mungkin akan menjawabnya, "Abang mending pulang sama kita. Iky janji nanti Iky bantuin Abang ngurus Oci sama Cio, kalau Abang mau apa apa nanti Iky yang ambilin, terus nanti kalau Abang gabut, Iky yang temenin Abang keluar, jalan jalan, atau ngajak main Oci sama Cio, atau mau ngelukis? atau mau kepantai? ke taman? terserah deh, nanti Iky jadi kang ojeknya Bang Jean."
Riky sempat terkekeh sesaat namun kekehan tersebut justru mengundang air mata yang sedari tadi ia tahan, dengan kurang ajarnya bulir air bening itu menerabas pertahanan Riky membuat pipinya kembali basah dengan mata yang semakin sembab.
"Bang Jean gak mau ngata ngatain Iky? Iky cengeng Bang, ayo bangun kata katain Iky lagi, Iky gapapa asal Abang bangun." hanya kesunyian yang didapatnya, menyadari tak ada jawaban sama sekali, Riky kembali bersuara, "Riky gamau tau, pokoknya Abang harus janji, Abang bakal ikut Iky pulang. Abang jangan buru buru ketemu Tuhan sama Bang Senja-nya, Iky gak mau kehilangan Abang Iky lagi." ujarnya panjang lebar, suaranya memelan pada kalimat terakhirnya, kepalanya menunduk seolah tengah menyembunyikan tangisnya entah dari siapa.
Titt .......titt ........titt
Tak ada balasan, hanya suara monitor ICU yang terdengar begitu nyaring menghiasi seluruh ruangan bernuansa putih tersebut. Suara isak tangis memilukan Riky turut berpartisipasi menambah kesan menyedihkan dalam ruangan dengan banyaknya peralatan medis tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Of Happiness [✓]
أدب المراهقينTentang mereka, tujuh luka yang berusaha mencari cahaya kebahagiaannya di tengah gelapnya harapan. Hadirnya orang tua mereka bukan lagi untuk mencium kening atau sekedar mengucapkan segala kata-kata kasih sayang serta penyemangatnya. Keduanya hadir...