~~~"STOPPP!! KAMU GAUSAH NGELAK LAGI!!"
"NGELAK APAAN SIH?! AKU NGOMONG JUJUR!!"
"NGGAK, KAMU SELINGKUH AKU TAU ITU!"
Teriakan saling bersahutan terdengar mampu memekakkan telinga. Empat dari ketujuh bocah berdiri sejajar di ambang pintu, sementara tiga lainnya mengintip takut dibalik punggung abangnya. Seragam putih merah yang melekat pada masing-masing tubuh mungil mereka mampu menjelaskan dari mana mereka datang.
Si sulung yang semula menggenggam jemari mungil adik bungsunya reflek beralih menutupi telinga kecil sang adik. Disusul putra kedua yang turut mengikuti pergerakan abang sulungnya, kedua tangannya bergerak sigap memutar tubuh dua adiknya yang kini bergetar ketakutan, memeluknya berharap teriakan kencang kedua orang tuanya tak sampai pada rungu sang adik.
Sementara itu, didalam sana perdebatan belum juga usai.
"Kamu laki-laki brengsek!" Jerit wanita bersurai panjang yang kini kusut akibat perkelahian mereka.
"Oke Rani, oke kalau itu mau kamu."
"Tega!! Bener-bener tega kamu mas!!"
Ardi Syardana Farelino menarik sebelah bibirnya terkekeh meremehkan. "Terus apa kabar sama kamu?" Tanyanya dengan nada rendah sontak membuat sang Istri mengerutkan keningnya tak faham.
"Kamu fikir aku gak tau?! Kamu ngapain aja di rumah pas aku kerja dan anak-anak sekolah??" Lanjutnya menyemprot sang istri mengingat ia pernah memergoki istrinya dengan tetangga duda di gang sebelah sedang makan bersama di rumahnya. Perlu diingat RUMAHNYA. Tak hanya itu, bahkan Chandra, tetangga mereka, terlihat tengah memeluk erat istrinya, suami mana yang tidak murka melihat istrinya berpelukan mesra dirumah mereka dengan laki-laki lain?
"Aku ngapain?? Maksud kamu Pak Chandra? Dia cuma nemenin aku, aku kesepian mas!! Kamu fikir aku gak capek ngurusin anak-anak sendiri?! Kamu fikir aku nggak stress!! Sedangkan kamu enak-enak selingkuh di kantor sampai malem dengan dalih lembur!" Teriak Leyrani Narada Anggieta tak kalah kencang. Wanita yang kerap dipanggil Rani itu sungguh tak berbohong, memang benar dirinya dan Chandra tak ada hubungan apapun, terkadang Chandra lah yang suka tiba-tiba datang dengan alasan mengantarkan makanan.
"Cih! Masa bodoh dengan alasanmu, mulai saat ini ingat baik-baik, kita impas! Kamu selingkuh aku selingkuh, puas!" Sentak Ardi diakhir kalimat, telak membuat Rani menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Bener-bener gapunya hati! Aku gak selingkuh!! Kamu yang selingkuh!!" Bulir bening air matanya kian deras seiring jeritannya meraung semakin kencang. Hatinya masih tak terima dituduh berselingkuh. Ia tak menyangka laki-laki yang ia kira akan menjadi laki-laki terakhir yang ia cintai, yang tulus mencintainya walau tahu semua tentang masa lalunya, yang katanya akan percaya dengan semua kata-katanya. Kini menuduh dirinya berselingkuh. Rani kira Ardi sudah berubah, ternyata memang nyatanya manusia akan kembali pada sifat aslinya.
"Gak usah munafik! Kamu itu mantan jalang, gak kaget aku lihat kamu kaya begitu," sembur Ardi begitu menusuk, melayangkan telunjuknya mendorong pelan dahi sang Istri.
Plakkk
Tamparan keras melayang tanpa belas kasih sebagai balasan ucapan tak senonoh suaminya.
Ucapan Ardi terlalu menohok untuk diterima, Rani tahu, memang dari dulu dirinya adalah wanita yang sudah rusak, tetapi mereka telah berjanji semenjak sama-sama menyatakan bahwa mereka tulus saling mencintai, keduanya tak akan mengungkit masa lalu masing-masing, dan akan menjaga anak-anak mereka dengan tulus. Tanpa pengecualian!
"Jaga mulut kamu mas! Kamu fikir aku gak tahu masa lalu kamu?! Gak usah sok suci! Kamu yang ngehamilin sahabat aku dan ninggalin dia gitu aja kan?! Akhirnya dia bunuh diri dan anaknya—"
Plaakkk
"Mamaaa!!" Senja kecil berlari memeluk sang Ibu yang jatuh tersungkur akibat tamparan keras dari ayahnya. Bocah laki-laki yang memiliki angka usia tiga tahun lebih tua dari si bungsu itu menangis meraung memeluk tubuh ringkih Mamanya.
Ketujuh bocah itu sedari tadi hanya berdiri diam diambang pintu masuk rumah mereka, menonton setiap gerak gerik kedua orang tuanya, mendengarkan segala kata-kata tidak senonoh yang terlontar dari mulut keduanya. Hingga akhirnya memutuskan masuk ketika melihat papa mulai main tangan.
"Papa!! Papa kenapa sih?!" Jega menaikkan nadanya kali ini, ia tak terima mamanya diperlakukan seperti itu.
"PAPA KENAPA PUKUL MAMA?!" Teriak Sastra tak terima. Se-nakal nakalnya Sastra ia tak akan berani menyentak orang tuanya, tapi tidak dengan sekarang.
"Kalian masih kecil tidak tau apa-apa, mending sekarang kalian masuk ke kamar!" Bentak Ardi pada ketujuh anaknya.
"Haksa!! Kamu bawa masuk ke kamar semua adik-adikmu kalau nggak mau papa tambah marah!" Perintahnya telak kepada Haksa.
Sementara Haksa sendiri bimbang, ia tidak mau papa semakin marah, tapi ia khawatir akan keadaan sang mama. Namun karena ancaman yang terus-menerus Ardi lontarkan, terpaksa membuatnya patuh hingga pada akhirnya menggiring semua adik-adiknya untuk masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar mereka semua termenung, sambil terus menutupi telinganya dengan kedua tangan kecilnya, berharap perdebatan kedua orang tua mereka di depan sana segera usai.
Haksa mengedarkan pandangannya, menatap nanar enam ranjang single bad yang tertata rapih dari ujung ruangan bersama masing masing pemiliknya.
Bocah yang kini menduduki bangku kelas 6 SD itu kembali termenung mencoba menguatkan diri sekaligus mencari cara supaya adik-adiknya bisa tenang dan tak perlu lagi mendengarkan segala kebisingan diluar sana. Haksa adalah yang tertua, ia harus bisa menguatkan dan melindungi adik-adiknya. Namun kenyataannya kini dirinya sendiri bingung, bagaimana menenangkan adik-adiknya jika dirinya sendiri belum bisa tenang?
Plihan terakhir, Haksa mengajak keenam Adiknya untuk duduk berkumpul di kasur paling pojok milik Riky, setidaknya suara kebisingan diluar sana tak terlalu terdengar di pojok sini.
"Abang, Iky atutt." Entah keberapa kalinya Riky si bungsu merengek mengatakan kalimat itu. Sadar Haksa tak bisa berbuat banyak, lantas kedua lengannya mengeratkan pelukan mereka seolah tak akan melepaskannya apapun yang terjadi.
Seiring kerasnya teriakan orang tua mereka, air mata yang keluar juga semakin deras, pelukan mereka mengerat saling menguatkan.
"AAKKHH!! DASAR LAKI LAKI BAJINGAN!!"
"Bang Akca, mama akit dilual ayo kita ke mama." Jean terus merengek pada Haksa, bergelayutan pada lengan abang sulungnya itu lantaran rasa khawatirnya yang makin menjadi ketika jerit tangis sang Ibu berulang kali menyapa indra pendengarannya.
Haksa bingung, bagaimana ini? Kalau boleh jujur dirinya juga khawatir pada Mama, tapi apa boleh buat, mereka hanya anak kecil. Ia lebih takut pada papa yang sudah mirip monster jika marah. Tugasnya kali ini adalah menjaga Adik-adiknya.
Setelah sekian lama tangis mereka saling beradu, pada akhirnya satu persatu dari mereka mulai tertidur, menghiraukan teriakan yang tak ada hentinya itu, meninggalkan sejenak kebisingan dunia untuk terlelap dalam alam bawah sadar mereka. Kecuali Haksa.
Si sulung terus terjaga, mendengarkan teriakan demi teriakan juga umpatan demi umpatan yang terlontar dari mulut kedua orang tuanya. Mungkin dirinya belum mengerti apa yang mereka katakan sekarang, seperti, anak haram, anak buangan, jalang, pria hidung belang, tentang hamilnya sahabat mama, atau tentang perjodohan paksa, tapi setidaknya ia akan tahu saat dewasa nanti.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Of Happiness [✓]
أدب المراهقينTentang mereka, tujuh luka yang berusaha mencari cahaya kebahagiaannya di tengah gelapnya harapan. Hadirnya orang tua mereka bukan lagi untuk mencium kening atau sekedar mengucapkan segala kata-kata kasih sayang serta penyemangatnya. Keduanya hadir...