Page 12

5.5K 635 18
                                    

Suasana apartemen Haechan malam itu begitu mencekam, setelah Haechan menyeret Ten keluar dari Bar ia langsung membawa Ten ke apartemennya. Ten hanya mampu diam meskipun banyak pertanyaan yang terselip di otaknya, apalagi tentang apartemen mewah ini. Keduanya masih diam selama setengah jam karena tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan yang melanda hati mereka saat ini, tapi pada akhirnya Ten yang memulai, sebagai orang tua sekaligus yang melakukan kesalahan dia harus meminta maaf kepada anaknya.

"Maafin Mae ya?" Ten bersusah payah untuk mengangkat kepala dan melihat wajah anaknya yang menyiratkan kekecewaan yang mendalam itu, matanya berair karena menahan tangis, atau memang sudah menangis. Keduanya kini berada di ruang tamu apartemen Haechan dengan posisi saling berhadapan,

"Kenapa Ma? Mae ada utang ke orang lain yang belum dibayar? Aku bisa bantu." Ten tersenyum miris, itu memang salah satu alasannya. 
"Berapa?" 
"Itu urusan Mae, kamu cuma perlu belajar sekarang soal-"
"Itu urusan aku juga!" lagi- tanpa sadar Haechan membentak Ten, membuat lelaki manis itu terdiam seribu bahasa.
"Kita cuma tinggal berdua, saling bergantung satu sama lain. Kalo Mae ada masalah, cerita ke aku, aku udah gede Ma bukan anak kecil lagi. Aku udah bisa cari uang sendiri meskipun nggak banyak." Haechan melanjutkan, nada bicara melembut diakhir, tak ingin melihat sirat kesedihan lagi di mata Ten. Dia sudah kelewatan tadi. 

Haechan berdiri dan menghampiri Ten, duduk bersimpuh di depannya. Kedua tangan Haechan meraih kedua tangan Ten lalu menggenggamnya, 
"Kita cuma punya satu sama lain, Mae bisa bergantung sama aku begitu pula sebaliknya." ibu jari Haechan mengusap punggung tangan Ten dengan lembut. 

"Maafin Mae, kamu pasti kecewa liat Mae kayak gini." 
"Siapa yang nggak kecewa dan sedih liat orang tuanya kerja kayak gitu demi anaknya?" Haechan sedikit berdiri kemudian menarik Ten ke dalam pelukannya,
"Maafin Mae." tangan Haechan terulur untuk mengusap kepala Ten yang kini menangis dalam pelukannya, perasaan Ten campur aduk antara takut, sedih, dan malu. 

"Aku gak marah sama Mae, aku cuma mau Mae jujur ke aku. Kalo butuh uang, nanti aku bantu cari ya. Pasti ada jalan, sekarang Mae undur diri dari sana ya? Nanti aku cariin kerjaan buat Mae yang cocok buat Mae." Haechan tersenyum, setidaknya ini belum terlalu terlambat, meskipun gosip di sekolah sudah menyebar tetapi dia kini bisa mengatakan kalau Mae tidak bekerja disitu. Ten menganggukkan kepala, kali ini dia akan menurut pada perkataan anaknya, demi anaknya sendiri. 

Setelah Ten lumayan tenang, Haechan pergi ke dapur untuk membuatkan teh manis untuk mereka berdua, belum banyak barang disini. 
"Dek." Ten yang selesai mengagumi interior apartemen mewah ini menghampiri Haechan di dapur, 
"Ini apartemen punya kamu?" pertanyaan ini adalah yang paling dihindari oleh Haechan, dia takut kalau menceritakan semuanya Ten akan marah padanya dan-

"Iya Mae." 
"Dapet darimana uang sebanyak ini? kamu nggak kerja dari sugar baby atau semacamnya kan?" Ten kali ini bertanya dengan nada khawatir, meskipun dia sendiri menjadi orang sewaan tapi bukan berarti anaknya boleh!

Haechan tertawa, "Nggak Mae, ini punya aku. Ada surat-suratnya kalo Mae mau liat." Haechan membawa dua cangkir teh manis ke meja pantry dimana Ten sudah duduk disana. 
"Terus dari siapa?" tanya Ten, Haechan mengambil nafas sebelum menjawab, dia memerlukan sedikit keberanian. 
"Ayah." suara Haechan mengecil namun Ten masih bisa mendengarnya dengan jelas kalau Haechan menjawab 'Ayah'. 

Keduanya terdiam selama beberapa waktu sebelum Ten tersenyum dan mengusap kepala Haechan, 
"Dia baik ya? nggak ngapa-ngapain kamu kan?" tanya Ten. 

"Baik kok Ma." 

Cuma dijodohin aja yang bikin nggak enak.

"Mae nggak marah?" Haechan bertanya, ia menatap Ten yang masih tersenyum. "Nggak Mae nggak marah kok." jawabnya.

PE;ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang