Page 29

3.2K 362 12
                                    

Setelah mendapatkan pencerahan dari Jeno kemarin, Haechan berencana untuk menanyakan perihal ini pada Ten. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya alias membersihkan kamar, mencuci baju, dan mengepel lantai ia menghampiri Ten yang sedang bermain game diponselnya. 

"Ma... mau ngomongin sesuatu." Haechan duduk disebelah Ten, mendengar permintaan anaknya itu membuat Ten langsung mengakhiri kegiatannya dan menatap ke arah Haechan. 
"Ngomong apa hm?" Haechan terlihat gugup, takut juga jika Mama nya merasa kecewa atau marah, ia mengambil nafas sebelum akhirnya berbicara. 

"Ma..kalo seandainya aku sama Mas Jeno jadi nikah, Mama...mau nggak ikut tinggal serumah sama aku sama Mas Jeno?" mendengar pertanyaan Haechan membuat Ten tersenyum, ia mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Haechan,
"Dek, kehidupan kamu, rumah kamu, kamu bisa urus sendiri sama suami kamu. Mama disini aja." Ten tersenyum, ia tidak bisa ikut tinggal bersama Haechan, pasti akan merepotkan dan mengganggu nantinya. Tinggal disini saja sudah cukup, memang mungkin akan kesepian tapi baginya itu sudah cukup, Haechan datang sesekali untuk mengunjunginya ia sudah bahagia, apalagi jika melihat Haechan bahagia.

"Ma, aku nggak papa kalo Mama mau ikut. Aku cuma punya Mama." kepala Ten menggeleng sebagai jawaban, 
"Mama nggak papa, beneran. Disini juga nyaman kok. Toh nanti kamu juga pasti sering kesini." ucap Ten. 

Haechan menarik Ten ke dalam pelukannya, merasa beruntung memiliki Ten. Dia belum bisa memberikan apa-apa pada Ten untuk saat ini, tapi nanti dia ingin memberikan semua yang dia punya pada Ten. 
"Ma, aku sayang banget sama Mae. Makasih buat semua yang udah Mae kasih selama ini." 
"Kamu anak Mae, nggak perlu berterimakasih. Cukup lakuin hal yang sama ke anakmu nanti, Mae udah seneng." mendengar jawaban dari Ten malah membuat Haechan menangis, Ten mengusap kepala anaknya sambil menahan agar dirinya tidak menangis. Hah...semakin sulit untuk melepas anaknya yang satu ini. 

"Oh iya, abang katanya mau main kesini." Haechan melepaskan pelukannya kemudian menatap Ten, 
"Iya? kok nggak bilang ke Mae?" tanya Ten, 
"Baru aja sih tadi abang bilang." Haechan menunjukkan cengirannya, bohong tentu saja, dia keceplosan karena Hendery aslinya bilang ingin membuat kejutan untuk Ten, dia baru saja berhasil membangun perusahaan kecil miliknya, kata Hendery Haechan bisa memegang perusahaan itu nanti. Hendery sesayang itu pada Haechan, mereka berdua memilih untuk berdamai dengan masa lalu alih-alih merasa iri dan berujung bertengkar dengan cara kekanak-kanakan. Apalagi Haechan juga pasti tidak memiliki waktu dan uang untuk itu, Ten tidak boleh menderita lagi. Cukup karena Johnny. 

"Harus masak nih Mae." Ten hendak bangkit, namun ternyata Hendery sudah datang terlebih dahulu, terlihat mobil kakak Haechan itu memasuki halaman rumah. 
"Keburu udah dateng si abang. Tadi aku udah pesen sekalian bawain makanan, entah dia beli apa tapi." Haechan bangkit dari posisinya, ia sudah lebih baik jika untuk berjalan meskipun masih terasa nyeri setidaknya sudah tidak seperti orang baru sunat.

"Siang Ma, siang mbul." Hendery sempatnya mengusak rambut Haechan sebelum masuk ke dalam rumah sambil membawa dua paperg bag,
"Aku beli sop buntut sama iga bakar." ucap Hendery.
"Anjir, iga bakarnya buat gue." Haechan langsung menarik kotak berisi iga bakar, terlihat dari tutup luarnya karena dari plastik.
"Bagi buat Mama." Hendery mencubit lengan Haechan, tidak terlalu keras kok, mana tega dia.
"Maeee abang cubit aku." dan anak itu malah mengadu pada Ten dengan raut sedih yang dibuat-buat, 
"Udah abang, biarin aja, Mae kan suka sop buntutnya." mendengar pembelaan dari Ten membuat Haechan senang sampai menjulurkan lidahnya pada Hendery lalu kembali membuka kotak makan berisi iga bakar itu, 







║▌│█║▌│ █𝐏𝐄;𝐀║▌│█│║▌║

PE;ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang