Pagi ini, Jamila pergi ke pasar bersama Bu Atik. Ia ingin melihat-lihat dan mengerti bagaimana caranya menawar dengan benar. Tidak mau lagi dibodohi seperti kemarin, saat ia membeli seikat kangkung yang ia bayar dengan harga sepuluh ribu rupiah, padahal harga aslinya hanya enam ribu rupiah saja. Ia ingin memberi perhitungan kepada penjual itu, tetapi Bu Atik malah menertawainya.
“Ya nggak salah, sih, Mbak. Biasanya kalau orang beli kelihatan bingung, apalagi pakai bahasa Indonesia, ya harganya dinaikin sama penjualnya,” kata Bu Atik kemarin.
Sehingga memancing rasa penasaran Jamila untuk tahu bagaimana mekanisme jual beli yang umum di pasar itu.
“Mau masak apa, Mbak? Biar kita nggak bolak-balik lagi nanti,” tanya Bu Atik setelah mereka memarkirkan motor.
Motor dari ayahnya. Katanya, itu hadiah karena Jamila bersedia tinggal di sini lagi, meski di rumah yang berbeda dengan sang ayah. Jamila tentunya, sih, mau-mau saja, toh itu akan memudahkannya kalau ingin bepergian.
“Mending nyetok bahan nggak sih, Bu? Kayak beli ayam sekalian dua kilo, ikan-ikan, udang, sama daging gitu?”
Bu Atik tertawa, kemudian menarik tangannya untuk memasuki pasar dengan hati-hati. Banyak tukang becak yang sedang mengangkut belanjaan orang-orang dari dalam pasar.
“Kulkasnya kan kecil, Mbak, mana muat kebanyakan isi begitu? Nanti nggak bisa bikin es batu.”
Iya juga, sih. Jamila lupa kalau kulkas di rumahnya tidak sebesar di rumah tantenya dulu. Itu pun kulkas yang tidak terpakai di rumah ayahnya. Mungkin setelah pulang dari pasar, dia akan mengajak Bu Atik pergi ke toko elektronik untuk memilih kulkas yang memiliki dua pintu.
“Ganti aja nggak, sih, Bu? Yang dua pintu gitu. Kanan kiri tapi, ya, bukan yang atas bawah,” ujarnya begitu enteng, membuat Bu Atik sedikit melotot karena syok.
“Di sini kayaknya nggak ada yang segede itu, deh, Mbak. Paling ya di kabupaten kota. Ada, tuh, toko elektronik gede. Bisa kirim-kirim barang juga. Tapi mending datang langsung ke sana, dicek dulu barang yang mau dibeli.”
Jamila mengangguk-angguk. Ia akan mengunjungi toko itu nanti. Mungkin siang nanti, atau besok, kalau Bu Atik bersedia.
“Kenapa nggak minta sama Bapak aja, Mbak? Kan, gampang.”
Jamila menggeleng. Ia ikut memasukkan cabai yang bagus ke dalam plastik yang dipegang oleh Bu Atik.
“Males, ah! Aku juga masih punya tabungan, kok.”
“Kenapa? Bapak bakal nolak, ya?”
“Ya enggak, sih. Nggak tahu juga. Tapi aku juga kepingin beli sendiri, jangan apa-apa dibeliin Bapak,” kata Jamila sambil memperhatikan Bu Atik membayar.
Ia memang sudah memberikan uang lebih dulu kepada Bu Atik, meski sebenarnya, Bu Atik juga berkata kalau ayahnya sudah memberikan uang untuk belanja harian mereka. Jamila tetap memberikan uang kepada Bu Atik, juga menyuruh perempuan itu untuk membelikan cucunya jajan ataupun susu.
Bu Atik janda anak dua. Kedua anaknya sudah menikah, dan anak keduanya yang perempuan menempati rumah mereka bersama suaminya. Bu Atik yang kesehariannya memang bekerja di tempat ayahnya jadi tidak pikir panjang untuk mengiakan, ketika ayahnya menawarinya tinggal di rumahnya. Masih kata Bu Atik lagi, menantu lelakinya lumayan boros. Makannya banyak, tetapi penghasilannya sedikit. Uang yang diterima Bu Atik kebanyakan habis untuk makan mereka bertiga, karena anak perempuannya itu belum memiliki anak.
Mungkin lama kelamaan Bu Atik merasa jenuh dengan keadaan itu, sehingga ia lebih memilih tinggal bersama Jamila di rumahnya yang sekarang.
“Kalau sama Mbak Mila, kan, nggak capek-capek amat. Kalau udah selesai beres-beres bisa santai, nonton tivi, atau tidur. Bisa ikut makan enak juga,” kata Bu Atik waktu Jamila iseng bertanya beberapa hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...