Rutinitas yang dilakukan Jamila tetap sama seperti sebelum menikah. Hanya saja, ada beberapa hal tambahan yang membuat ia harus terbiasa, suka tidak suka, mau tidak mau, karena ia menganggap itu sebuah kewajiban sebagai seorang istri.
“Nggak usah, nanti aku kerjain sendiri,” tolak Ganendra saat Jamila mengambil pakaian kotor lelaki itu.
Memang pada awalnya terasa aneh, geli-geli gimana gitu, karena Jamila tidak pernah mencuci pakaian laki-laki sebelumnya. Tetapi Jamila merasa tidak enak saja membiarkan lelaki itu melakukannya. Ganendra pulang mengajar saat matahari sudah hampir terbenam, pasti rasanya sangat lelah.
“Ya ampun, Mas,” Jamila membungkuk untuk mengambil keranjang pakaian kotor itu, “ini juga ada baju aku di sini, lagian ya, kenapa emang kalau aku yang nyuci?”
Mereka sudah seminggu tinggal di rumah mereka sendiri. Bersama Bu Atik tentu saja, tetapi Jamila memang mencuci pakaiannya sendiri. Mungkin Ganendra tahu kalau Jamila mencuci pakaian dalamnya terpisah dengan pakaian luar, sehingga lelaki itu merasa tidak enak. Saat masih di rumah ayahnya, Jamila tidak tahu siapa yang mencuci pakaiannya, karena keranjang kotornya akan selalu raib saat ia akan mencucinya. Belakang ini, ia baru tahu kalau Bekti yang bertugas untuk mencuci di rumah itu.
“Mas Ganen hari ini pulang sore lagi?”
Ganendra tengah menyelesaikan sarapannya, sedangkan Jamila menyetel mesin cuci dan menyisakan bunyi berdengung yang menggema.
“Iya. Jumat, kan, jadwalnya pramuka, aku bertugas jadi salah satu pembinanya.”
Wah, Jamila benar-benar terkesima. Padahal, dulu ia sangat menghindari kegiatan seperti itu. Kalau bukan kewajiban yang nilainya akan dimasukkan ke dalam buku rapor, dia sudah pasti tidak mau mengikutinya.
“Sibuk banget,” gerutu Jamila.
“Kalau kegiatan pramuka emang sekarang banyak dikasih ke guru-guru muda, biar yang tua bisa istirahat.”
“Tapi gaji Mas Ganen sebagai guru gitu-gitu aja, nggak nambah banyak.”
Ini bukan merendahkan pekerjaan Ganendra, tetapi lebih menyayangkan, kenapa gaji guru kalau belum PNS itu tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan. Jamila sejak dulu merasa kasihan kalau tahu kisah-kisah para guru honorer, tidak menyangka kalau sekarang malah punya suami dengan profesi serupa.
“Kan, bisa dapat uang dari kerjaan lain,” sahut Ganendra setelah menghabiskan air putihnya. “Kenapa? Kamu mau minta uang buat beli skincare, ya?”
Jamila langsung menggerak-gerakkan kedua tangannya. “Bukan, Mas. Aku masih bisa beli sendiri, kok. Maksud aku, tuh, kayak nggak seimbang aja sama capeknya.”
“Nanti juga kalau rezeki jadi guru ya, pasti bakal ada aja jalannya. Sekarang masih begini, mau gimana lagi? Makanya aku sambil ngajar les.”
Jamila mengedik, tidak lagi menyahut. Dia tidak mau terlalu ikut campur perihal pekerjaan Ganendra. Meski mereka sudah menjadi suami istri, tetapi ada hal-hal yang tidak bisa diutak-atik. Jamila tidak mau dianggap tukang atur, itu bukan keahliannya.
“Mas Ganen nanti pulang dulu, nggak?”
Ganendra mengangguk. “Tapi pulang ke rumah Ibu. Seragam pramuka masih di sana soalnya. Kalau pulang ke sini sekalian, takutnya kelamaan. Nggak apa-apa, ya?”
Jamila hanya bertanya pendek, tetapi Ganendra menjawab dengan panjang lebar.
“Ya nggak apa-apa. Aku cuma nanya.”
Jamila mengikuti Ganendra ke depan, mengantarkan suaminya pergi bekerja. Dalam bayangannya dulu, Jamila akan mengantarkan suaminya dengan raut cerah ceria setelah membantu memakaikan dasi di leher suaminya, seperti yang ada di drama, kemudian dihadiahi kecupan di kening. Boro-boro, Ganendra malah sibuk sendiri mengecek kembali isi tasnya, lalu memakai helm di atas motornya. Tidak ada adegan cium tangan dan kening, lelaki itu bahkan hanya membunyikan klakson sebagai bentuk pamit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...