Bab 7

1.2K 231 13
                                    

Selamat siang, semoga udah pada makan, ya. Aku akan kasih sedikit emosi di bab ini.





Enjoy!















***







Kalau dipikir-pikir, hidup Jamila itu lancar sekali. Terlepas dari cerita masa lalu yang sama sekali tidak ingin diulangnya lagi, hidupnya pasti membuat iri orang-orang yang hobi menggalau di media sosial. Keuangannya aman sentosa, hampir tidak pernah ada konflik di antara ia dan teman-temannya, kecuali sedikit rasa sakit hati karena Jamila merasa ia tidak lagi masuk dalam lingkup pertemanannya yang dulu. Ya mau bagaimana lagi, kan, dia tidak lagi tinggal di Jakarta, bertukar kabar lewat pesan singkat jelas sangat berbeda dengan pertemuan langsung yang bisa saling kontak mata.

Kalau ini bisa disebut sebagai hubungan percintaan, hubungannya dengan Ganendra juga pasti membuat banyak orang iri. Lancar jaya seperti tidak ada satu kerikil pun yang terinjak oleh kakinya.

Keluarganya sudah hampir seluruhnya berkumpul, meski memang ada beberapa yang tidak dapat hadir karena bisa dikatakan pengumuman pernikahannya terlalu mendadak. Ia sudah bertemu pakdenya yang langsung memeluknya penuh kerinduan, juga memberinya banyak hadiah untuk kepulangan dan pernikahannya. Padahal mereka tidak ada hubungan darah, tetapi memang sering kali persaudaraan itu tidak mesti dikaitkan dengan darah. Keluarga tantenya yang sudah datang juga dan tinggal sementara di rumahnya, serta saudara ibunya yang lain, yang juga tinggal di rumahnya bersama-sama.

Jamila sendiri menempati kamar di rumah ayahnya. Itu terpaksa ia lakukan, karena semua acara akan dilakukan di sana, tidak lucu kalau mempelainya malah tidak ada, padahal tidak sedang dalam kepentingan apa pun. Ayahnya juga sudah memohon agar ia berada di sana. Tidak ada yang tahu kapan akan terjadi hal buruk, dan ayahnya tidak ingin hal buruk apa pun menimpa Jamila.

Meski kerap kali dipelototi oleh Jamila, tetapi istri baru ayahnya tetap berseliweran di hadapannya. Jamila tidak bisa mengusirnya begitu saja.

“Makan dulu, Nduk, pengajiannya kan nanti sore,” ujar istri baru ayahnya pada Jamila.

Lihatlah, perempuan itu bahkan mengikuti bagaimana ayahnya memanggil Jamila.

Akan tetapi, Jamila tetap diam. Gadis itu sedang berkirim pesan dengan beberapa temannya mengenai pernikahannya hari esok. Mereka semua tidak bisa datang karena memang harus bekerja, Jamila memakluminya.

“Heh! Bilangnya lo balik kampung karena tante lo ngomongin lo di belakang, tahunya malah mau kawin aja, lo!”

Jamila tertawa mendengar suara Devita, salah satu teman terbaiknya yang langsung meneleponnya ketika Jamila mengiriminya pesan kalau ia akan menikah besok.

“Ya gimana, dong? Gue kan bukan budak korporat kayak elo,” timpal Jamila kembali tertawa. Ia dapat membayangkan wajah Devita yang misuh-misuh kalau dikatakan sebagai budak korporat, karena hidupnya hampir tidak pernah di rumah. Pergi pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan, bekerja hingga sore, bahkan tidak jarang pulang larut malam karena lembur yang tidak berkesudahan. Hang out yang mereka rencanakan kebanyakan hanya wacana yang tidak kunjung terlaksana, karena Devita sering kali mendapat panggilan mendadak dari bosnya.

“Biaya kawin di Jakarta mahal, Say! Belum lagi gue harus rajin-rajin pakai skincare biar kerutan gue nggak keterlaluan banget. Susah hidup kalau nggak punya banyak duit!”

Jamila kembali tertawa. Ia memilih masuk ke kamar karena rumah ayahnya begitu banyak orang. Suara tawa para tetangga yang sedang memasak di dapur juga terdengar begitu jelas.

“Lo beneran mau kawin, Mil?” tanya Devita dengan nada serius.

“Ya beneran, dong! Masak bohongan? Lo pikir gue selebriti yang kawinnya settingan?”

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang