Bab 22

1K 219 16
                                    

Halo!

Apa kabar?

Sudah masuk bulan Februari ternyata, ya. Semoga tidak ada insiden meletus balon hijau, ya 🎉


























Semuanya berusaha ia abaikan.

Jamila mencoba untuk berpikir positif. Suaminya tidak akan pernah mengkhianatinya, seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya. Lelaki itu pasti berbeda. Ia sudah memberikan rasa percayanya kepada Ganendra.

Jamila tetap berusaha sebaik mungkin menjadi seorang istri. Melayani sang suami dengan sepenuh hati. Entah itu untuk urusan perut, mata, dan tidak lupa urusan ranjang. Ia tetap membuat ranjangnya hangat dan membuat sang suami mengulas senyum penuh kepuasan.

Setiap pagi selama hari kerja, Jamila juga tidak pernah lupa membawakan bekal untuk sang suami. Bahkan, Ganendra juga bercerita kalau beberapa guru ingin Jamila membuka katering setelah merasakan masakan perempuan itu tempo hari. Padahal, Jamila mengatakan kalau makanan itu buatan Bu Atik. Alasan yang sebenarnya, Jamila tidak mau memberikan makanan yang sama seperti apa yang suaminya nikmati.

“Hari ini ada rapat. Anak-anak pulang lebih awal, tapi guru pulangnya bisa lebih sore dari biasanya,” ujar lelaki itu saat Jamila mengamit tangannya untuk pergi sarapan.

Ya, ia bahkan memastikan pakaian suaminya rapi sebelum keluar dari kamar.

Sebenarnya, Jamila tidak ingin sang suami tampil paripurna saat ke luar rumah. Hatinya masih terasa waswas, takut kalau akan ada perempuan lain yang tertarik dengan sosok lelaki ini. Jamila menyadari betul lelaki ini sudah berbeda dari Ganendra yang dulu dikenalnya. Ganendra semakin pandai memadu padankan pakaian agar terlihat semakin menawan. Kulitnya makin eksotik karena sering pergi bersama ayahnya untuk pergi ke pabrik, ataupun menengok kebun, yang kadang pun, Jamila ikut untuk sekadar membuang penat di luar rumah. Karang, Ganendra membiarkan rahangnya ditumbuhi cambang tipis yang membuatnya terlihat semakin maskulin, seperti saat ini.

“Bekalnya kurang, nggak? Aku tambahi kalau kurang.”

Ganendra menggeleng singkat. “Nggak usah. Bisa beli nanti di sekolah. Dapat jatah snack juga biasanya,” tolak lelaki itu lembut.

“Nanti ada Mas Bagol mau panen di belakang,” ujar Jamila memberitahu.

“Ya disiapin minum sama makanan. Beli ke tukang sayur aja kalau capek. Masih sering sakit perutnya, kan?”

Jamila mengangguk patuh. Perutnya memang agak sering sakit belakangan ini. Jamila ingin memeriksanya ke rumah sakit, tetapi jaraknya lumayan jauh, dan ia belum berani bepergian jauh sendiri. Ia akan meminta sang suami menemaninya, mungkin besok.

“Kamu nggak lama lagi bakalan lepas kerjaan guru kamu, aku pasti kangen nyiapin sarapan sama bikin bekal buru-buru kayak gini,” ujar Jamila sembari melabuhkan kepalanya di bahu sang lelaki.

Hidangan di meja makan sudah rapi. Secangkir kopi juga tampak masih mengepulkan asapnya, walau sedikit. Jamila membantu mengambilkan nasi dan sayur sup ayam yang jadi menu sarapan pagi ini. Untuk bekal yang dibawa Ganendra, Jamila menumis brokoli yang dicampur dengan sosis dan dibumbui saus tiram. Ada sup ayamnya juga dalam termos kecil agar tetap hangat sampai istirahat makan siang.

Mendengar perkataan Jamila, Ganendra tertawa ringan. “Ya nanti malah jadi nggak buru-buru lagi, dong?”

“Iya, sih. Nggak keseringan ditinggal ngurus kerjaan juga sampai malem. Kalau kamu dibajak sama Bapak, kan, aku bisa ngomong ke Bapak,” ujar Jamila dengan sedikit merajuk.

Ganendra mengempaskan sendoknya dengan pelan, menoleh pada istrinya dengan tampang datar. “Aku lagi makan, loh!”

Jamila mengernyit tidak paham. “Kenapa emang?”

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang