Bab 19

1.1K 212 22
                                    

Setelah bab 17 lumayan rame, bab 18 sepi lagi 😂


























“Mbak Mila masih minum pil KB?”

Jamila hanya bergumam mengiakan, tanpa berhenti mengaduk ayam bersama bumbu sebelum diungkep. “Iya, Bu. Belum waktunya buat punya anaklah, Bu,” tuturnya disertai senyum kecil.

Orang-orang mulai membicarakan tentang anak dan kehamilan di dekat telinganya. Ada yang terang-terangan bertanya, ada pula yang sok-sokan membicarakan orang lain, padahal sedang menyindir Jamila. Ia tahu itu. Hanya Bu Atik dan Devita saja yang tahu soal pil penunda kehamilan yang ia konsumsi. Selain bidan, tentu saja.

Jamila tidak mau ceroboh dengan membeli pil itu selain kepada bidan.

“Udah hampir setengah tahun, emang belum kepingin punya momongan, Mbak?”

Jamila tersenyum kecut. “Ya pasti kepinginlah, Bu. Tapi masih belum yakin aja.”

“Udah ngobrol sama Mas Nendra?”

Kepala Jamila bergeleng. Perempuan itu menyalakan kompor dan membiarkan ayam itu diungkep sampai matang. Sejak berada di desa, Jamila lebih suka memasak ayam kampung, walau durasi memasaknya lebih lama dari ayam potong biasa.

“Bu, emangnya, Bapak dulu beneran nggak boleh punya anak lagi sama Eyang, ya?”

Bu Atik sedikit membelalak, namun segera berekspresi normal seperti sebelumnya. “Mbak Mila tahu dari mana?”

Jamila kembali tersenyum kecut.

“Ibu dulu dengar desas-desusnya aja. Ibu, kan, bukan warga sini, jadi nggak begitu tahu kabar orang-orang di sini. Cuma, karena ibunya Ibu dari dulu memang kerja buat Eyang, jadinya lumayan tahu.” Bu Atik menghela napas pendek, masih sambil duduk di amben dapur dan menyiangi kangkung. “Kabarnya, sih, begitu. Eyang dulu kecewa sekali sama Bapak. Mbak Mila, kan, kesayangan Eyang banget. Cucu satu-satunya. Mana dulu ibunya Mbak Mila, kan, baik banget. Malah kayak anaknya sendiri.”

Jamila tidak terlalu ingat hal itu. Tetapi, ia memang mengingat tentang kebaikan sang nenek. Dulu sekali, saat ia dan ibunya belum lama pergi dari rumah, sang nenek pernah mendatanginya di Jakarta, lalu entah membicarakan apa dengan ibunya. Hingga beberapa tahun kemudian, sang nenek meninggal dunia, dan pakdenya memberitahu kalau Jamila mendapat hak waris untuk rumah yang ditinggalinya sekarang ini.

Ada banyak hal yang dulu ia abaikan, sehingga sekarang membuatnya seperti tidak tahu apa-apa.

“Bahkan dulu Bapak hampir nggak dibantu sama Eyang Sri pas bangkrut.”

“Bapak udah nikah lagi waktu itu?”

Bu Atik mengangguk. “Udah. Nggak lama setelah menikah itulah pokoknya. Pontang-panting rumah tangganya, sering ribut juga. Tapi akhirnya dibantu lagi sama Eyang Sri, dengan syarat nggak boleh ada yang buat istri baru sama anaknya.”

“Tapi akhirnya ya mereka juga yang nguasai rumah itu,” ujar Jamila sinis.

Entah kapan ia bisa menyingkirkan rasa benci itu dari hatinya. Memang bukan hanya salah si perempuan gatal itu saja, ayahnya juga sama bersalahnya karena tergoda. Akan tetapi, lebih mudah menyalahkan pihak luar daripada orang yang jelas-jelas kita kenal.

“Ibu nggak tahu, sih, Mbak. Tapi katanya emang, Bekti dikasih modal buat usaha. Biar nanti pas udah nikah, bisa betulan lepas dari Bapak. Toh dia bukan anak kandung Bapak, jadi nggak ada kewajiban buat Bapak ngasih nafkah dia. Masih untung ibunya selama ini tahu diri, nggak cuma ongkang-ongkang kaki kayak nyonya besar.”

“Dia kerja?”

Bu Atik menggeleng. “Bukan kerja di luar, sih, tapi ya bantu-bantu ngurus sawah, ke pabrik juga.”

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang