Bab 10

1.3K 224 6
                                    

Selamat tahun baru 2023! 🎉🎊🎉🎊

Semoga di tahun ini, aku, kamu ... kita semua, bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi, lebih bahagia lagi, dan mencapai satu per satu list kebahagiaan yang sudah kita impikan. Aamiin!

Semoga juga, di tahun ini, aku bisa lebih produktif lagi 🎉🎊🎉🎊🌹🌹🌹🌹













































Seperti biasanya setelah menikah, Jamila baru akan beranjak ke kasur sekitar pukul sepuluh malam. Setelah menyelesaikan rangkaian perawatan wajah yang awalnya membuat Ganendra geleng-geleng melihatnya. Jamila melakukan itu untuk menemani Ganendra tidur. Tidak enak saja melihat lelaki itu menunggunya sembari menguap berulang kali, karena mengatakan akan menunggu Jamila menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu.

Mereka tentu masih hanya sekadar teman berbagi ranjang yang sama, tetapi Jamila juga tidak mengerti, mengapa Ganendra tidak langsung tidur saja sendiri? Daripada menunggu Jamila sembari menahan kantuk, kan?

“Kamu lagi ada banyak kerjaan, ya?”

Ganendra masih sempat bertanya saat Jamila menyibak selimut dan merebahkan tubuh. “Iya, lumayan. Ada juga yang minta dibuatin modelan brosur usaha gitu, sih. Lumayan juga.”

“Kamu kayaknya jago buat ngerjain kayak gitu, ya?”

Jamila tertawa kecil, ia membetulkan posisi bantal agar enak di kepala dan bahunya. “Ya nggak jago juga, karena emang awalnya nggak ada niat buat nyari uang dari hobi ini, sih. Aku gambar karena aku suka, terus pas aku upload di Instagram, ternyata ada beberapa yang minta tolong dibuatin gambar, sama teman-temanku juga disuruh buat terima aja kalau ada yang order. Jadi ... ya gitu, deh.”

Dulu, Jamila pernah bercita-cita untuk bekerja kantoran. Memakai pakaian yang bagus, duduk di depan komputer di dalam ruang ber-AC di sebuah gedung tinggi, yang harus naik lift kalau mau ke kantornya. Pokoknya impian para budak korporat yang menginginkan gaji tinggi, tetapi ujung-ujungnya kurang punya pergaulan, karena terlalu lama hidup di lingkungan kantor. Berangkat pagi, pulang saat matahari terbenam. Sampai rumah sudah terlalu capek untuk sekadar nongkrong menikmati musik di sebuah kafe, akhirnya pingsan di kasur saat akhir pekan tiba.

Sungguh, Jamila juga pernah merasakan itu. Meski hanya beberapa bulan saja, ia menyerah. Gaji boleh tinggi, tetapi saling sikut antar teman di tempat kerja juga lebih tinggi. Jamila tidak tahan dengan semua itu, hingga ia memilih untuk keluar dari sana dan leha-leha dengan uang dari ayahnya. Sampai ketika, ia merasa hidupnya tidak bisa begitu saja. Berbekal dukungan dari teman-temannya dan beberapa tawaran mulai masuk, Jamila mengiakan untuk memulai usahanya sendiri. Ia bukan orang plin-plan, tetapi berusaha memanfaatkan peluang. Ketika virus K-Pop mulai menjamur, Jamila memanfaatkannya dengan baik. Berjualan pernak-perniknya, walau kebanyakan mahal, tetapi tidak pernah sepi peminat.

Jamila mulai menikmatinya saat itu. Meski disokong oleh uang kiriman dari ayahnya, tetapi ia yakin, hidupnya selama sebulan kurang dari jumlah yang dikirimkan ayahnya. Ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, seandainya ia tidak ingat harus memberi sejumlah uang pada tantenya. Itu saat ia belum mengetahui fakta menyakitkan yang berusaha mereka simpan untuknya. Jamila juga sadar diri, ia menumpang di sana, saat sudah mampu mencari uang sendiri, ia memberikannya tanpa harus diberitahu oleh ibunya lebih dulu.

Orang-orang berpikir hidup Jamila selalu nyaman. Uang selalu terjamin, meski tidak bekerja pun bisa memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya. Padahal tidak seperti itu.

“Aku bukan orang konsumtif, yang beli ini itu tanpa mikir panjang lebih dulu,” ujarnya membuat Ganendra mengernyit sangsi. Jamila tertawa menyadari itu. “Beneran. Pas kita beli kulkas sama mesin tuh, ya, aku pakai tabunganku sendiri. Aku mikir buat kebutuhan aja. Sebelumnya ya nggak pernah mikir buat beli kayak gitu, lah.”

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang