“Bapak bilang, Mbak Mila mau ke sini. Jadi, aku beli semangka pas lagi ke pasar. Mbak Mila suka semangka, kan?”
Jamila menahan dengusan. Ia hanya bergumam dan membiarkan adik tirinya menyiapkan kudapan di hadapannya. Hal itu tentu tidak luput dari perhatian Devita dan Ganendra yang turut mengantarkan dua perempuan itu ke rumah mertuanya.
Masih seperti sebelumnya, Jamila benar-benar mengabaikan kehadiran ibu tirinya, meski perempuan itu menyapa tamu-tamunya dengan ramah.
Hendarto belum tampak. Lelaki tua itu kabarnya sedang menengok pabrik minyak kelapanya sejak pagi. Ganendra sempat bercerita kalau sedang ada sedikit masalah dengan beberapa pekerja, dan mereka sedang berusaha mengatasinya.
“Itu sebabnya Mas Ganen ikut ngurusin sama Bapak?” tanya Jamila tadi pagi.
“Iya. Kecurangan kalau dibiarin, lama-lama pasti jadi penyakit. Sekarang ketahuan suka ngambil kelapa terus dijual ke pasar, nanti apa lagi?”
Kabarnya, ada beberapa orang yang suka mengambil kelapa dari tempat mereka untuk dijual secara pribadi kepala penjual kelapa di pasar. Dikarenakan stok kelapa di tempat ayahnya memang banyak, sehingga kehilangan itu seperti tidak tampak. Tetapi yang namanya bangkai, mau ditutupi bagaimanapun kalau bau, pasti akan ketahuan juga.
Bayangkanlah kalau satu orang dalam sehari bisa mengambil lima butir kelapa tanpa ketahuan. Dalam seminggu, ia bisa mengambil tiga puluh lima butir kelapa secara ilegal. Mungkin terlihat sedikit, tetapi kalau dijumlah pasti hasilnya banyak. Sedangkan untuk membuat minyak kelapa itu dibutuhkan banyak perasan santan kental sebelum diolah, hasilnya pun tidak seberapa banyak. Itulah mengapa harga minyak kelapa lebih mahal dari harga minyak sawit.
Yang Jamila tahu, ayahnya baru membuat minyak kelapa masak, bukan minyak kelapa mentah yang pengolahannya tanpa dipanaskan seperti biasanya. Orang-orang menyebutnya virgin coconut oil, atau kalau disingkat VCO. Harganya lebih mahal, karena pengerjaannya disebut lebih sulit. Tempurung kelapa yang awalnya hanya limbah dan dijual murah, kini mulai diolah sendiri menjadi arang atau sutil untuk memasak.
Bergabungnya Ganendra dengan sang ayah dalam usaha ini, Jamila dengar akan membuat perubahan cukup besar. Entah apa yang akan dilakukan sang suami, Jamila belum sempat menanyakannya.
“Elo nggak akur sama adik tiri lo sendiri?”
“Gue anak tunggal, kalau lo lupa,” tandas Jamila sengit.
Devita berdecak, namun tidak bertanya lagi. Perempuan itu sibuk memperhatikan rumah yang tengah ia kunjungi. Wajarnya, kalau seorang anak datang ke rumah orangtuanya, pasti mereka akan menyelonong masuk begitu saja. Makan semaunya, tidur seenaknya. Pokoknya, rumah orangtua ya rumahnya sendiri.
Akan tetapi, Jamila berhenti di ruang tamu, lalu duduk tanpa berbasa-basi lebih dulu dengan ibu tirinya yang mengumbar senyum ramah menyambut mereka.
Devita tidak lagi bertanya. Ia hanya diam, lalu memperhatikan foto-foto yang tergantung rapi di dinding rumah itu. Potret lawas seorang bocah kecil cantik dalam banyak pose dan pakaian yang berbeda-beda, membuat Devita yakin, bahwa itu adalah potret masa kecil Jamila saat masih menghuni rumah ini. Jamila tidak hanya sendiri. Ada beberapa foto perempuan itu bersama ibunya, ayahnya, atau keduanya. Dalam foto itu, senyum mereka tampak lebar. Seperti keluarga bahagia tanpa kekurangan pada umumnya.
Namun, siapa yang tahu?
Orang-orang memang pandai menutupi kesalahan mereka sendiri, tetapi sepintar-pintarnya tupai loncat, pasti ada kalanya jatuh juga. Dan mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kesialan yang ayah Jamila lakukan.
Lihatlah perempuan paruh baya yang menyebut dirinya sebagai ibu dari Jamila. Perempuan itu parasnya ayu, meski Devita mengakui kalau ibu kandung Jamila lebih cantik dengan karismanya sendiri. Siapa yang menyangka kalau perempuan cantik pada zamannya itu mampu berbuat kotor dengan merebut suami dari perempuan lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...