Selamat membaca!Yang ini beneran ada isinya, walau dikiiiiitttt 👌🏻
Bebek goreng manis, lalapan, lengkap dengan sambal terasi yang menggugah selera, tidak lupa juga terong goreng sudah tersedia di atas meja untuk makan malam. Jamila membeli bebek potong dan langsung mengolahnya tadi siang.
Jamila masih agak linglung sebenarnya, antara memercayai ucapan kekasih Bekti atau tidak. Dia tahu kalau sudah terlambat untuk memikirkan itu, karena semua bukti yang dia tahu pun memang mengarah ke sana. Suaminya bahkan tidak ragu-ragu untuk memakan makanan pemberian Ratih. Ucapan tentang menjaga perasaan Jamila rasanya sudah tidak bisa dibuktikan lagi.
Jamila tahu kalau menghargai pemberian orang lain itu sangat perlu, tetapi Ganendra juga harus menghargai dirinya sebagai seorang istri.
Ia menatap tangannya yang gemetar. Perasaannya semakin memburuk akhir-akhir ini, dan perkataan kekasih Bekti sungguh mengganggunya.
Saat waktu malam setelah Isya selesai, Jamila menunggu suaminya sembari menonton televisi. Ia harus segera menyelesaikan masalah mereka, sebelum timbul masalah baru, atau semuanya akan seperti balon hijau yang meletus.
Kacau.
Jamila tidak mau hal itu terjadi. Apa pun yang sebenarnya terjadi, dia harus menyelamatkan dirinya sendiri lebih dulu. Masa bodoh dengan orang lain, suaminya sekali pun, karena toh Ganendra juga tidak lagi tampak bersalah saat mengabaikannya. Tetapi sebelum itu, ia ingin sekali pergi ke Jakarta. Hanya sekadar untuk melepas rindu di pusara ibunya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menginjakkan kakinya di sana. Dadanya sesak dipenuhi rasa rindu yang sama sekali tidak terkikis.
“Aku kepingin ke Jakarta,” ujarnya setelah makanannya habis.
Ganendra memperhatikannya dari balik gelas yang isinya tengah ia teguk. “Ngapain?” kening lelaki itu mengernyit.
“Ke makam Mama.”
“Aku belum bisa ambil cuti lagi,” kata lelaki itu, “lagian, bentar lagi juga aku resign, habis itu aja sekalian liburan.”
Liburan?
Jamila bahkan tidak terpikirkan sama sekali untuk liburan. Dia ingin mengunjungi makam ibunya, bukan untuk liburan. Dia tidak bisa liburan dengan kepala yang penuh dengan praduga. Bisa-bisa, masalahnya semakin banyak setelah pulang dari liburan.
Ia pun menggeleng kecil. “Nggak mau liburan. Aku cuma kepingin ke makam Mama aja, sebentar. Paling dua hari juga pulang.”
“Terus mau ke sana sendirian?”
Jamila mengangguk saja.
“Nggak.”
Jamila memutar bola matanya dengan jengah.
“Cuma tiga hari. Tiga hari,” katanya sambil menunjukkan ketiga jari tangan kanannya. “Aku nggak bakal stay di sana. Sadar diri aku, sih, udah punya suami. Jadi nggak bisa seenaknya pergi dari rumah gitu aja.”
“Tuh, kamu tahu,” sahut Ganendra santai. “Kalau sadar diri udah punya suami, ya harusnya nurut. Tinggal nunggu sebentar aja sampai aku resign, kan, nggak lama.”
Jamila menatap suaminya dengan jengah. Ia lalu mengalihkan tatap, meremas tisu bekas mengelap tangannya tadi.
“Ya aku tahu diri, makanya aku izin. Biar kamu tahu aku pergi ke mana. Toh nggak bakal aku ke sana diam-diam, apalagi buat ketemu sama mantan pacar aku.”
“Maksud kamu apa?”
Jamila mendengar suaminya mendengkus.
“Aku nggak kayak kamu, yang udah dilarang tapi masih aja dilakuin. Kamu tahu kalau aku nggak suka kamu deket-deket sama Ratih, tapi apa kamu dengerin aku?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...