Bab 26

1.1K 224 33
                                    

Rumah tangga memang pada dasarnya tidak hanya berisi kebahagiaan semata. Tidak jarang akan ada cekcok yang didasari dari kesalahpahaman. Ganendra tahu kalau dia membuat istrinya salah paham, tetapi dia juga agak geram dengan kelakuan sang wanita. Jamila bisa berbicara baik-baik tanpa menyindir Ratih seperti itu, tetapi perempuan itu malah melakukan hal itu.

Hubungan mereka memburuk. Mereka sangat jarang berbicara. Jamila bahkan enggan tidur menghadap sang suami, meskipun tahu sesekali akan terdengar Ganendra mengaduh karena tidurnya yang lumayan lasak. Ia masih menyiapkan keperluan untuk mandi, makan, bahkan membantu suaminya berpakaian, tetapi mengunci bibirnya agar tidak ada pembicaraan di antara mereka.

Ibu mertuanya masih datang setiap hari. Tentu saja membawa masakan sendiri dari rumah, mungkin takut anak lelakinya tidak diberi makan oleh Jamila.

Hal itu sukses membuat Jamila bertambah malas masak. Ia hanya menggoreng telur atau bahkan membuat mi instan untuk dirinya sendiri.

Ganendra juga pergi ke rumah sakit untuk memeriksa lukanya lebih lanjut. Jamila dengan sengaja meminta sopir ayahnya untuk mengantarkan mereka. Ia tahu kalau Ganendra tidak yakin dengan kemampuannya berkendara.

“Kamu nggak masak lagi?” lelaki itu bertanya setelah kembali dari dapur. Jamila sendiri sedang bersantai sambil menyemil keripik singkong yang dibawakan ayahnya kemarin.

“Aku mau beli bakso habis ini. Kenapa?”

“Kenapa nggak masak-masak?”

Jamila mengerling menatap suaminya yang duduk tidak jauh darinya. Suara televisi yang sedikit keras, tidak mengganggu perbincangan mereka.

“Kamu udah ada makanan dari Ibu, kan?”

Ganendra tampak menghela napas. “Iya, tapi kamu kenapa nggak masak? Kamu nggak cocok sama masakan Ibu, kan?”

Jamila yang cenderung suka asin, memang tidak ikut menikmati masakan sang mertua. Lagi pula, makanan itu ditujukan untuk Ganendra, dirinya tidak ikut serta.

“Ya aku biasanya juga goreng telur, kan? Nggak susah aku, kok.”

Keripik singkong yang ia makan rupanya sudah hampir satu stoples. Pantas saja bibirnya terasa sedikit perih. Jamila pun menyudahi makannya, meneguk es teh yang ia buat untuk menemani acaranya bersantai.

“Masaklah, Mil. Jangan makan cuma pakai telur aja. Sayuran di kulkas bukannya masih banyak?”

Memang masih banyak. Bahkan sudah mulai layu karena Jamila benar-benar sedang malas berlama-lama di dapur. Katakan saja, ia sedang mogok masak.

“Ntar kalau mau, deh. Aku lagi males ngapa-ngapain.”

Perempuan itu meninggalkan suaminya. Ia menghampiri cucian yang baru selesai dicuci, menjemurnya di bawah terik matahari yang pagi ini bersinar sangat terang. Tanaman cabai dalam ember bekas yang belum lama ia siram juga sudah tidak basah lagi.

Jamila tahu kalau ia keterlaluan. Ia hanya ingin suaminya sadar dan meminta maaf atas kelakuannya sendiri. Tidak ada istri yang suka kalau suaminya lebih membela perempuan lain, terlebih lagi perempuan itu mantan kekasih si suami. Label mantan kekasih itu sungguh mengganggu Jamila.

Jamila tahu kalau sebelum ada dirinya, Ganendra punya kehidupan yang tentu saja tidak ada dirinya di sana. Akan tetapi, rasanya sama sekali tidak menyenangkan saat perempuan di masa lalu suaminya masih berkeliaran di sekitar mereka sampai sekarang. Terlebih lagi dengan kondisinya yang tidak sepenuhnya baik-baik saja. Jamila hanya tidak suka dengan kenyataan itu.

“Kamu itu kenapa, sih?”

Jamila mengernyit heran saat sang suami tampak menahan emosi dan menghampirinya. Ia mengibas pakaian yang hendak dikaitkan pada hanger, lalu menggantungnya pada bambu di samping tembok yang masih berada di dalam rumah. Ia tidak perlu ke luar rumah hanya untuk menjemur pakaian.

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang