Masalah tidak lantas pergi begitu saja dari hidup mereka. Tidur masih terpisah, dan berbicara seperlunya tanpa ada kontak fisik berarti.
Ganendra seolah memberi Jamila waktu untuk berpikir, juga memberi waktu kepada dirinya sendiri untuk meredam amarah yang masih berkobar. Karena demi apa pun, dia marah pada ibunya sendiri, dan Ganendra tidak ingin hal itu sampai berlarut-larut, apalagi sampai membuat hubungannya dan sang ibu rusak.
Jamila mengerti perasaan suaminya, itu sebabnya, ia membiarkan Ganendra mengambil waktunya sendiri, meskipun sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ia bicarakan antara mereka berdua.
Ketika sore hari tiba, dan suaminya sudah kembali dari jam kerjanya, Jamila membiarkan lelaki itu untuk membersihkan tubuh lebih dulu. Ayahnya menyuruh sang suami untuk datang ke rumah seusai Magrib nanti. Di waktu itu, mereka kedatangan tamu yang membuat Jamila menahan dengusan.
“Pak Nendra ada, Bu?” tanyanya dengan suara lembut mendayu-dayu. Mungkin berpikir kalau Jamila akan melabelinya sebagai kembang desa, yang tentu saja tidak akan pernah terjadi. Mau dilihat dari sedotan di puncak Monas pun sudah ketahuan, siapa yang lebih unggul di antara mereka berdua.
“Ada apa ya, Bu? Suami saya baru aja pulang, lagi waktunya istirahat,” sahut Jamila dengan niat menyindir.
Apakah perempuan ini tidak lelah setelah seharian bekerja? Kok, bisa-bisanya jam segini di saat suaminya baru pulang dan sedang mandi, Ratih justru sudah tampak rapi dan bau sabun yang lumayan lembut di hidung.
“Oh, enggak, Bu. Cuma ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan sama Pak Nendra,” jawab Ratih masih dengan tampang polosnya.
Jamila ingin berdecih, tetapi ia masih punya sopan santun. Dengan menunjuk kursi di teras, ia mempersilakan tamunya untuk duduk.
“Duduk di sini aja ya, Bu? Nggak enak kalau dilihat tetangga,” sindirnya sebelum berlalu ke dalam.
Dalam balutan baju koko, Ganendra sepertinya baru selesai menjalankan salat Ashar, dan ada Al Quran yang baru diambilnya dari atas lemari.
“Ada apa?” tanya lelaki itu saat mendapati istrinya tiba-tiba membuka pintu dan memandanginya dengan tatapan ... entah, Ganendra tidak paham.
“Ada mantan kamu, tuh, di depan,” kata Jamila dengan judes.
Ganendra menghela napas lelah. Belum rampung juga masalah yang memeluk hubungan mereka berdua. Ganendra sudah sebisa mungkin menghindari Ratih di sekolah, bahkan meminta pada Pak Karsiman untuk tukar meja dengannya. Hal itu jelas membuat banyak pertanyaan berkelebat di kepala rekan-rekan kerjanya yang lain. Tidak sedikit yang bertanya kepadanya, ada masalah apa antara ia dan perempuan itu? Dan Ganendra hanya mengulas senyum tipisnya sebagai jawaban.
“Mau dibikinin minum apa? Pakai madu? Gula? Apa garem?” tanya Jamila sembari keluar dari kamar.
“Nggak usah dibikinin minum. Kasih air kemasan aja,” timpal Ganendra seraya mengamit tangan istrinya.
“Ini ngapain gandengan? Mau nyebrang? Nggak takut mantan pacar kamu cemburu?”
Ganendra mengulas senyum tipis, lalu mencubit hidung istrinya dengan gemas. “Kamu yang cemburu,” ujarnya, yang hanya dibalas dengusan oleh sang istri.
Lelaki itu rindu sekali kedekatannya dengan perempuan ini. Wanitanya. Istrinya. Tetapi Ganendra sadar, emosinya masih sering kali tinggi. Ganendra tidak ingin kalau emosinya meledak dan malah membuat Jamila semakin terluka.
Ia menghentikan langkah ketika sampai di ruang tamu. Punggung Ratih terlihat dari kaca jendela berwarna hitam. Dulu perempuan itu pernah menjadi penghuni hatinya, tempatnya meletakkan harap untuk bisa membina rumah tangga bersama, namun berakhir sakit hati. Ratih memang terlihat menarik, meskipun lebih cantik istrinya ke mana-mana. Parasnya ayu dan teduh, membuat orang banyak yang tidak percaya kalau Ratih tetap manusia yang bisa menyakiti manusia lain. Berbeda dengan Jamila yang bar-bar. Terlebih dengan predikat anak broken home dari hasil hubungan ayahnya yang bermain curang di belakang ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...