Bab 12

1.2K 228 12
                                    

Hari Minggu yang diharapkan akan cerah dengan sinar matahari yang menyirami bumi, nyatanya malah mendung dan begitu pekat. Seolah-olah langit akan meruntuhkan semua airnya. Pakaian yang sudah dicuci dan tinggal dijemur agar kering, kini berakhir digantung pada sebatang bambu berdiameter kecil yang sengaja diletakkan pada area cucian

Mendung itu menular, pada Jamila yang tidak berhenti berdecak sedari tadi. Ia sedang sibuk di dapur, mengulek sambal untuk pelengkap ayam goreng bumbu lengkuas yang membuatnya ketagihan.

Bu Atik beberapa hari ini sering pulang ke rumahnya, karena sang anak yang ternyata sedang berbadan itu cukup kewalahan di rumah sendirian. Suaminya dipaksa Bu Atik untuk bekerja, agar tak hanya mengandalkan Bu Atik saja dalam urusan finansial.

Jamila jadi kesal sendiri saat mengingatnya.

“Itu kalau nguleknya begitu, nanti yang ada pecah cobeknya,” tegur Ganendra yang masuk ke dapur sembari menenteng lap kotor. Lelaki itu baru saja mencuci motornya. Kegiatan tiap hari Minggu yang belum pernah ditinggalkan.

“Ngagetin aja!” sembur Jamila yang memang terkejut dengan kehadiran sang suami.

Ganendra terkekeh melihatnya. Usai mencuci lap kotor dan membersihkan tangannya sendiri, lelaki itu duduk di salah satu kursi. Menarik gelas yang ada di atas meja dan meminum isinya. Kopi hitam yang memang khusus dibuatkan untuknya.

“Kesal kenapa, sih?”

Jamila kembali berdecak. “Kesal aja kalau ingat sama mantunya Bu Atik. Laki-laki tapi maunya kawin doang!”

Untung Ganendra tidak sampai tersedak, meski kopinya sedikit muncrat dari mulut saat mendengar Jamila berkata demikian. “Ngawur kamu!”

“Ih! Emang nyatanya gitu!” Jamila tidak mau disalahkan. Ia lantas memutar tubuh, menatap suaminya yang kembali meminum kopinya dengan santai. “Udah tahu nikah itu modalnya nggak cuma pas hari nikah aja, tapi hari-hari setelahnya juga panjang banget. Iya, sih, banyak juga yang modal nikahnya dikit, atau bahkan nol. Tapi nggak kayak mantu Bu Atik juga, yang malah ogah-ogahan kerja. Nggak malu sama titit yang kayak tiang bendera, tapi semangat kerjanya malah kayak batang padi kena banjir?”

Ganendra sukses tersedak kali ini. Lelaki itu bukan agak lagi, tetapi benar-benar terkejut dengan perkataan yang Jamila ucapkan. Frontal sekali.

“Mila!”

Jamila justru terkikik. “Apa, sih, Mas? Emang bener, kan?”

“Nggak sopan!”

Jamila kembali terkikik. Perempuan itu berdiri, membawa serta cobek berisi sambal yang sudah hampir jadi. Tinggal disiram minyak panas bekas menggoreng cabai dan bawang tadi saja.

“Harusnya kalau tinggal sama mertua itu ya tahu diri, Mas. Bukannya malah ngerasa enak, seolah hidupnya ditanggung sama mertua. Apalagi mertuanya janda udah tua. Bukannya dibikin enak hidupnya, malah dibikin susah,” kata Jamila dengan nada seriusnya.

“Kita, kan, nggak tahu kehidupan mereka yang sesungguhnya. Bisa aja mantunya udah kerja, tapi uangnya nggak mencukupi,” sanggah Ganendra.

Sembari memanaskan minyak, Jamila berkacak pinggang dan menggerakkan sutilnya di udara. “Aku lihat sendiri, dia sering banget main burung dara di lapangan dekat sini. Bu Atik yang bilang sendiri, kok. Terus, kalau ke pasar juga sering ketemu anaknya, pasti minta dibeliin bahan buat masak. Belum lagi ngadu gasnya habis, tagihan bayar listrik. Halah!”

“Aku juga numpang sama kamu di sini,” ucap Ganendra tiba-tiba, membuat Jamila menoleh, lalu menuang minyak panas ke atas cobek dan menghasilkan bunyi 'cess' yang lumayan keras. “Bahkan beras aja dikirim sama Bapak.”

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang