Bab 8

1.1K 218 6
                                    

Maaf, lama ... Lagi kelupaan nama tokohnya siapa aja, bikin aku jadi agak nggak mood nulis 😂🙈 maapin, yak!



Enjoy!




























































“Kamu tegang?”

Jamila menoleh, ia melihat Ganendra yang tersenyum kecil setelah membisikkan kalimat tanya itu.

“Dikit,” cicitnya lalu kembali meluruskan leher. Di hadapannya ada penghulu yang sedang sibuk memeriksa berkas-berkas, lalu ada ayahnya yang duduk di samping penghulu, tepat di depan Ganendra.

Ayahnya akan menjadi walinya nanti, lelaki itu juga tampak tegang, ada kesenduan juga di wajahnya. Tangannya berulang kali menyapukan sapu tangan ke wajah, entah untuk mengelap keringat yang muncul karena terlalu tegang, atau air mata yang kadang terlihat hampir menetes.

Jamila kembali mengembuskan napas. Meski tidak ada cinta di antara ia dan Ganendra, tetapi ternyata ia merasakan juga momen-momen menegangkan seperti pasangan lainnya. Ada perasaan bahagia, sedih, juga takut yang membuat ia kembali bertanya-tanya; apakah memang benar ia harus menikah dengan Ganendra?

Sebelum ia kembali ke sini, Devita pernah memberi sedikit pesan untuknya sebagai seorang sahabat. Jika Jamila memang mau untuk pulang ke rumah ayahnya, Jamila bisa saja pulang tanpa harus memberikan syarat-syarat itu. Terlebih pernikahan, yang pasti rasanya berat untuk dijalankan. Jamila tahu kalau Devita khawatir akan dirinya. Jamila bukan orang yang gampang akrab terhadap laki-laki, tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya, bahkan ia tetap mengukir senyum saat mendatangi kuburan ibunya.

Jamila bukan perempuan hebat dan kuat, yang patut dicontoh untuk dijadikan teladan hidup. Ia memiliki banyak kekurangan dan cacat yang tidak mungkin ia tunjukkan kepada orang-orang. Baginya, belum ada satu pun orang selain ibunya yang membuatnya bisa menunjukkan sisi manisnya, sisi ketergantungannya kepada orang lain.

“Udah sarapan?”

Ganendra kembali bertanya, kali ini membuat Jamila tersadar kalau mereka sudah tidak lagi berada di hadapan penghulu. Ayahnya sudah menikahkan ia dan Ganendra tadi. Jamila tidak menangis hebat, meski ada tetesan air mata yang membuat hidungnya tersumbat. Tetapi semua itu lebih karena ia yang kembali teringat ibunya, yang tidak ada di sampingnya dan memberinya restu sebagai orangtua.

“Udah, Mas Ganen udah?”

Ia melihat Ganendra mengangguk, lalu wajahnya kembali diarahkan untuk lurus. Penata riasnya tengah membenahi riasannya. Mereka berdua sedang berganti pakaian untuk resepsi yang disambung setelah akad nikah tadi.

Rasanya cepat sekali. Jamila bahkan baru sadar kalau ia sudah bukan lagi gadis lajang sekarang ini. Ganendra sudah menjadi suaminya.

“Mbak, nanti pas difoto banyakin senyumnya, ya? Jangan kayak orang linglung,” tegur Mbak Dian, penata rias yang kini sibuk memoleskan lipstik di bibirnya. “Masih bingung, ya?”

Jamila bingung harus membalas apa. Bibirnya tidak mungkin ia gerakkan, karena akan membuat goresan lain.

“Nggak pusing, kan?”

Kali ini, Jamila menggeleng, karena Mbak Dian sudah selesai memoles bibirnya.

“Nggak, kok, Mbak. Cuma berasa agak ketarik aja kepalaku kena sanggul gini,” sahutnya sambil menyentuh kepala.

Mereka akhirnya mengusung tema adat Jawa. Entah Solo atau Yogyakarta, Jamila tidak paham. Ia memakai baju beludru hitam dan kepalanya disanggul bulat, dengan untaian bunga melati dan juga kantil. Dahinya dihias dengan paes, yang membuatnya terlihat sangat cantik. Jamila tidak sadar kalau ia mengukir senyum sejak tadi, mengagumi kecantikannya sendiri.

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang