Makasih yang masih baca & tekan ❤️
***
Jamila baru saja menyelesaikan mengemas beberapa pesanan jualannya ketika Bu Atik mengetuk pintu kamarnya. Setelah dipikir-pikir, Jamila sebentar lagi menikah, kegiatannya mungkin akan lebih padat dari biasanya. Maka dari itulah, ia memutuskan untuk tidak lagi membuka toko online miliknya, dan menjual barang dagangannya dengan harga modal kepada teman-temannya yang sesama penjual. Belum semuanya laku, sih, karena memang masih cukup banyak dan harga barang-barang itu tidaklah murah.
Jamila masih bisa melakukan hal lain ketika sudah menikah nanti. Ia akan bersuami, yang menafkahinya bukan lagi ayahnya, tetapi suaminya. Namun, Jamila tetap tidak ingin hanya bertopang dagu setiap hari dan menunggu suaminya pulang bekerja, tanpa melakukan hal yang mampu menghasilkan uang.
Setelah cukup lama tinggal di sini, Jamila melihat ada banyak sekali warung yang hampir semuanya bisa diketuk pintunya dalam dua puluh empat jam, meskipun pintunya sudah tutup dan lampu warungnya sudah dimatikan. Ia yang sempat berpikir untuk mendirikan warung pun jadi minder, apalagi, berjualan di marketplace dan bertemu sapa dengan pembeli secara langsung pasti sangat berbeda.
“Ada Mas Ganen datang, tuh,” kata Bu Atik yang sepertinya baru saja mandi.
Jamila melirik jam dinding, sudah pukul setengah tujuh malam. Tumben sekali lelaki itu datang saat matahari sudah tenggelam.
Ganendra tampak rapi, meskipun hanya mengenakan kaus bertuliskan sebuah merek buku tulis, yang dipadukan dengan celana jeans panjang yang tampak nyaman dikenakan. Tidak terlihat aneh juga.
“Tumben ke sini jam segini?” tanyanya sambil duduk memangku bantal sofa, menutupi pahanya yang hanya ditutupi celana pendek sebetis.
Jamila sudah dalam tampilan akan tidur, meski biasanya ia baru benar-benar beranjak ke tempat tidur pada pukul sebelas malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Memastikan rangkaian perawatan wajahnya meresap sempurna, barulah ia akan memutuskan untuk tidur.
Ganendra mendorong bungkusan yang ada di atas meja, Jamila menduga isinya makanan, seperti yang biasa dibawakan lelaki itu ketika berkunjung ke sini.
“Ada arisan RT di rumah, Ibu sama Putri bikin lontong opor,” ujarnya singkat.
Jamila mengintipnya, makanan itu hanya dibungkus dengan plastik bening. Sehingga terlihat seperti beli di tukang bubur. Ada lontong yang sudah dipotong-potong dengan suwiran daging ayam, kuahnya yang berwarna kuning di plastik berbeda, serta kerupuk berwarna jingga, dan tidak lupa sambalnya yang tampak menggiurkan.
“Makasih,” kata Jamila.
“Kamu udah mau tidur, ya?”
Jamila menggeleng pelan, lalu menatap Ganendra penasaran. “Belum, sih. Kenapa?”
Jamila belum pernah melihat Ganendra salah tingkah atau tidak bisa berkata-kata. Namun, sekarang ia melihat lelaki itu menggaruk tengkuknya dan menghindari menatapnya. Kenapa? Bukankah Jamila sudah menutupi kakinya?
“Ke luar jalan sebentar, yuk! Mau?”
Eh, ini betulan? Ganendra mengajaknya jalan, bahkan tanpa aba-aba seperti sebelumnya.
Alhasil, Jamila pun mengiakan. Gadis itu mengganti pakaiannya dengan yang lebih sopan dan rapi. Tidak lupa memakai jaket untuk menghalau udara malam yang dingin. Ia masih bertanya-tanya, ada angin apa Ganendra mengajaknya pergi malam ini? Lelaki itu bisa saja berada di rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya atau mengajar les anak-anak didiknya. Tetapi malah mengajak Jamila untuk pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...