Bab 29

1.3K 259 30
                                    

Masih semangat apa tidak?



























Jamila tidak pernah tahu bagaimana perasaan ibunya saat bercerai dari ayahnya. Yang ia tahu, rasanya pasti sangat menyakitkan.

Perceraian tidak pernah masuk dalam daftar keinginan yang ingin ia capai dalam hidupnya, sekali pun. Karena ia melihat bagaimana menyedihkannya hidup ibunya dulu. Meskipun ia menikah tanpa perasaan cinta, tetapi lama kelamaan perasaan itu tumbuh juga.

Ia selayaknya wanita yang mudah terpikat dengan lelaki berparas menarik, yang juga baik hatinya. Meski Ganendra tidak setampan bintang sinetron yang sering wara-wiri di televisi, atau selebgram yang fotonya bertebaran di media sosial, tetapi lelaki itu punya kharisma tersendiri, yang mampu menyihir Jamila menjadi perempuan norak yang hobi senyum-senyum sendiri saat menerima pesan dari lelaki itu.

Namun, itu dulu.

Saat hubungan mereka masih baik-baik saja.

Bukan sekarang, yang terasa seperti hidup dengan orang asing dalam satu atap rumah yang sama.

Jamila masih memasak untuk mereka makan, tetapi tidak lagi makan di waktu yang sama. Kotak bekal masih ia siapkan untuk sang suami tiap pagi. Pakaian juga masih selalu ia setrika dengan rapi.

Semuanya seperti biasanya.

Yang membedakan hanya intensitas mereka untuk saling bicara, kini hampir tidak pernah ada. Kasur yang tadinya ditiduri berdua, kini terasa lega, karena Ganendra memilih tidur di ruang tengah. Memaksakan dirinya yang jangkung untuk tidur sedikit menekuk pada sofa panjang yang nyata tidak muat menampung tubuhnya.

Jangankan bercinta, kecupan penyemangat di pagi hari saja sudah tidak ada. Mereka benar-benar bertingkah layaknya dua orang asing yang kebetulan menempati rumah yang sama.

Jamila menghela napas panjang saat sang suami akhirnya pergi bekerja. Ia menghampiri meja makan yang sudah rapi. Ganendra akan mencuci bekas makannya sendiri. Berusaha untuk tidak merepotkan sang istri yang lebih memilih mendekam di kamar. Berusaha untuk tidak bertemu sapa dengan suami yang kini tidak menanyainya soal kegiatannya di rumah lagi.

Sudah tidak terhitung seberapa banyak malam yang ia habiskan untuk menguras air mata. Tenggorokannya menjadi sakit dan suaranya serak, kelopak matanya bengkak, persis seperti orang sakit. Hingga membuat Jamila enggan untuk pergi ke luar rumah, sekadar ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Ia baru akan ke pasar saat matahari sudah terik, meskipun tidak lagi mendapat sayuran yang lebih segar dan banyak juga yang tidak bisa ia dapatkan.

Jamila juga enggan bertemu dengan tetangga. Ia takut kalau pertengkarannya dengan sang suami betul-betul sampai ke telinga mereka, lalu didengar oleh ayahnya juga.

Jamila tidak ingin ayahnya dihantui perasaan bersalah karena masalahnya. Ia juga tidak ingin menjadikan ayahnya kambing hitam lagi atas segala permasalahannya. Nasib buruknya bukan karena perbuatan ayahnya, dan ia juga tidak seperti ibunya.

Kalau saja ia memiliki mertua yang baik seperti apa yang didapatkan ibunya, Jamila tidak akan segan untuk mengadu dan berlindung di balik punggungnya. Namun sayangnya, ibu mertuanya malah seperti senang kalau Ganendra dekat dengan Ratih dibanding dengan Jamila.

Ia tidak punya tempat mengadu sekarang. Mau pergi tanpa pamit untuk mengunjungi makam ibunya pun, Jamila tidak berani. Dia tidak mau menambah masalah lain, di saat masalah yang sekarang saja belum menemui jalan keluar.

Uluk salam terdengar di depan. Jamila menghapus air matanya yang lagi-lagi turun tanpa permisi.

Bekti.

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang