Bab 5

1.2K 232 12
                                    

Iya, nggak ada nama babnya, karena bingung nentuin judul bab 🤣


















Jamila tidak tahu, apakah keputusannya ini sudah yang terbaik atau belum. Tetapi ia tetap mau menjalaninya bersama banyak harapan baru yang mulai merimbun.

Tadi malam, Ganendra dan keluarganya sudah datang ke rumah ayahnya untuk menyampaikan maksud baik. Yaitu melamar Jamila untuk dijadikan istri dari laki-laki itu. Tidak ada acara tukar cincin, hanya Ganendra saja yang memberikan Jamila sebuah cincin yang kini melingkar di jari tengah tangan kirinya. Sebagai tanda bahwa gadis itu sudah tidak boleh dekat dengan lelaki lain, apalagi menerima pinangan dari lelaki lain, karena Ganendra sudah mengklaim diri Jamila sebagai hak miliknya.

Acara itu tidak diadakan besar-besaran, karena tidak direncanakan secara tersusun. Hanya membawa beberapa orang saja, termasuk saksi dari luar keluarga.

Tentu saja Jamila cukup terkejut. Hari itu, saat mereka pergi berdua untuk membeli kulkas dan mesin pengering pakaian, Ganendra memang membicarakan hal itu. Tetapi tidak menyebutkan secara pasti, kapan akan datang ke rumah untuk bicara pada ayahnya. Lalu tiba-tiba sore tadi, lelaki itu muncul di rumahnya, baru selesai mengajar tentu saja. Ganendra mengatakan akan datang ke rumah ayahnya, meminta Jamila untuk juga berada di sana.

Tidak ada yang lebih mengejutkan dari hal itu.

Beberapa hal lain juga dibicarakan semalam, tetapi Jamila terlalu terkejut untuk mencerna semua yang terjadi. Yang kemudian membuatnya sadar adalah; Ganendra mengiriminya pesan, menanyakan ukuran cincin jari manisnya yang benar. Agar cincin perkawinan mereka nanti tidak lagi terlalu besar ketika dipakai olehnya.

Jamila tahu kalau ada orang yang menikah lebih kilat darinya, bahkan mungkin saat hari pernikahan, si calon pengantin belum saling mengenal sama sekali. Sedangkan Jamila, boleh dikatakan, ia sempat beberapa kali jalan berdua dengan Ganendra. Saling bertanya untuk mengenal pribadi masing-masing.

Tepukan di pundak membuat ia sadar dari lamunan. Bu Atik tertawa geli melihatnya yang sejak tadi berpangku tangan, menatap kosong pada hamparan kebun bayam milik tetangga di samping kanan rumah lewat jendela di samping ruang makan.

"Habis dilamar malah jadi suka bengong. Mikirin apa, sih, Mbak?"

Jamila tersenyum kecut. Ia meraih gagang cangkir kopinya yang sudah hangat, tidak lagi mengepulkan uap panas seperti sebelumnya.

"Kayak belum percaya aja gitu loh, Bu. Tiba-tiba ada yang ngelamar," sahutnya.

Bu Atik kembali terkekeh. Perempuan itu duduk di kursi lain sembari menyiangi kangkung. "Alhamdulillah, dong. Dilamar sama orang baik, sebentar lagi nikah. Itu namanya enteng jodoh," kata Bu Atik membuat Jamila kembali tersenyum.

"Ibu nih, ya, dulu juga tiba-tiba dilamar sama suami Ibu. Umur Ibu malah baru delapan belas tahun, baru lulus SMK. Boro-boro ya disuruh kenalan dulu biar tahu gitu, Ibu mah enggak, Mbak! Semua keputusan ada di tangan bapaknya Ibu," ujar Bu Atik menceritakan kisahnya sendiri. "Dulu, sih, emang masih banyak yang nikahnya begitu. Lulus sekolah langsung ada yang melamar, nggak saling kenal pula. Mending kalau yang melamar masih seumuran, lah kalau udah tua, gimana?"

"Tapi pernikahan Ibu bahagia?"

Bu Atik mencebik, menepuk-nepuk kangkung yang masih sangat segar itu agar air di permukaannya berkurang, sebelum memetikinya menjadi lebih pendek. "Awalnya ya terpaksa, lama-lama biasa aja. Suami Ibu, tuh, orangnya jarang ngomong. Ibu tadinya ya pasti kesepian, apalagi tinggal di rumah mertua. Duh! Ibu mertua Ibu, tuh, ya, baweeeel banget. Semua dikomentari, bikin Ibu sering nangis diam-diam di kamar. Hamil yang pertama juga Ibu akhirnya keguguran, karena dulu banyak pikiran. Belum lagi capek ngerjain ini itu. Sampai akhirnya, kami nempatin rumah orang yang kosong. Ngontraklah, istilahnya."

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang